Cerpen
Selamat datang kembali di bab cerpen! Kalau kemarin yang bercerita Affifz, sekarang gantian gilihan Argaketchum yang bercerita. Penasaran? Selamat membaca dan selamat menikmati~
Si krayon ijo
Sebut saja aku Aditya. Tubuhku masih betah duduk melekat di pojokan kamar baru ini. Tertunduk, sambil meratapi kepergian ibu 2 hari yang lalu. Rasanya lelah untuk menangis, namun hanya ini yang bisa diriku lakukan. Sulit merelakan kepergian wanita yang merawatku sejak kecil dan tanpa pamit meninggalkanku di umur yang masih 13 tahun ini. Kini diriku merasa sebatang kara. Bukan! Tapi ada seekor Caterpie peninggalan ibu yang baru saja menetas bersama dengan kepergiannya. Caterpie mungil yang masih rapuh. Sejak kecil aku selalu geli melihat Pokemon ulat serangga. Ingin rasanya aku membuang Caterpie ini, namun dialah satu-satunya kenangan yang ibu tinggalkan setelah bencana gempa sialan itu menimbun seluruh isi rumah kami, dan tentunya merenggut nyawa ibu.
Seminggu telah berlalu dan air mataku masih sulit terbendung ketika memandangi Caterpie mungil ini. Dia selalu mengingatkanku pada almarhum ibu. Caterpie yang rakus, melahap seluruh daun pohon jeruk yang tertanam kokoh di sisi utara panti asuhan ini. Walaupun sedikit geli untuk menyentuhnya, namun aku sudah berjanji kepada ibu untuk merawat Caterpie ini dengan sepenuh hati. Akupun memutuskan untuk menamai Caterpie ini Krayon Ijo karena bentuknya yang hijau dan kecil, mirip sebuah krayon berwarna hijau. Sesekali aku membiarkan Krayon Ijo bertarung dengan Rattata liar yang melintas di sekitar kamar, hingga beberapa hari kemudian dia berevolusi menjadi Metapod. Namun lengkungan senyum kecilku masih belum kembali. Aku masih merindukan sosok ibuku, yang setiap malam menyanyikan sebuah lantunan pengantar tidur sebelum aku tertidur pulas. Aku sangat merindukan kecupan hangat di keningku. Di tempat ini aku hanyalah seorang anak anti-sosial, tak pernah sekalipun aku mau berbaur dengan anak-anak lain yang berusaha menghiburku. Irfan, anak yang sekamar denganku hanya bisa heran melihat tingkahku. Bahkan bibi pemilik panti asuhan kewalahan akan sikapku yang dingin ini. Hanya si Krayon Ijo yang terkadang menghiburku, walau saat ini dia tidak bergerak sama sekali di dahan bonsai beringin yang berada di sudut kamar. Sesekali aku mengajaknya berbicara, menceritakan kenangan bersama ibu sewaktu kami berlarian di padang ilalang sambil melontarkan tawa lepas yang ceria. Lalu seperti biasa tetesan air mata ini terjatuh begitu saja.
Sudah berhari-hari Krayon Ijo terdiam di dahan bonsai, tanpa suara. Terima kasih untuk si Krayon Ijo yang baru saja membuatku kesal! Wujud Metapodnya hanya memperkuat rasa kesepian ini. Sesekali kusentuh kulit kepompongnya yang keras, namun dia tetap terdiam, seperti ketika aku menangis disamping jasad ibu yang kaku tak bergerak. Terkadang Aipom milik Irfan juga memukul tubuh keras Krayon Ijo, namun pukulan itu sia-sia. Mungkin aku masih harus sedikit bersabar menunggu.
Hari ini aku bangun kesiangan dengan wajah sembab. Yah, semalam aku menangis lagi sampai larut. Irfan bahkan sudah tak di kamar, anak itu tak pernah terlambat untuk sarapan dengan anak-anak lain. Pandanganku kemudian terlempar kearah sudut kamar. Aku sangat terkejut melihat retakan seukuran jari kelingking di punggung Krayon Ijo. Sedikit demi sedikit retakan itu semakin memanjang dan mulai menganga. Belum cukup 2 menit, sebuah tubuh berwarna ungu menyembul keluar. Sepasang sayap mungil berkerut di punggungnya sedikit demi sedikit mengembang oleh bantuan cahaya matahari pagi yang berhamburan masuk melalui jendela. Hingga akhirnya seekor Butterfree sempurna pun muncul dan terbang dengan hati-hati, menghindari tabrakan pada setiap sisi ruangan ini. Butterfree itu lalu terbang ke arah jendela. Aku bisa memahami maksudnya, lalu dengan cepat aku membuka daun jendela itu selebar-lebarnya.
Hari ini aku bangun kesiangan dengan wajah sembab. Yah, semalam aku menangis lagi sampai larut. Irfan bahkan sudah tak di kamar, anak itu tak pernah terlambat untuk sarapan dengan anak-anak lain. Pandanganku kemudian terlempar kearah sudut kamar. Aku sangat terkejut melihat retakan seukuran jari kelingking di punggung Krayon Ijo. Sedikit demi sedikit retakan itu semakin memanjang dan mulai menganga. Belum cukup 2 menit, sebuah tubuh berwarna ungu menyembul keluar. Sepasang sayap mungil berkerut di punggungnya sedikit demi sedikit mengembang oleh bantuan cahaya matahari pagi yang berhamburan masuk melalui jendela. Hingga akhirnya seekor Butterfree sempurna pun muncul dan terbang dengan hati-hati, menghindari tabrakan pada setiap sisi ruangan ini. Butterfree itu lalu terbang ke arah jendela. Aku bisa memahami maksudnya, lalu dengan cepat aku membuka daun jendela itu selebar-lebarnya.
Seperti Meowth liar, tak sopannya aku melompat keluar jendela dan mengejar si Krayon Ijo. Kepakan sayap lebarnya menuntun langkahku hingga terhenti di pinggir danau tak jauh dari panti asuhan. Ia terbang mengelilingi kepalaku lalu menabrak dadaku. Akupun memeluknya erat. Butterfree ini hangat seperti ibu, menyebabkan rasa déjà vu seketika melintas di benakku. Kemudian aku melepas lingkar pelukanku. Krayon Ijo terbang di hadapanku, menghalangi silau cahaya matahari di belakangnya. Dia menatapku, dan aku bisa melihat bayangan almarhum ibu di dekatnya. Ibu menebarkan senyum ramahnya yang khas, lalu mendekapku dengan pelukan hangatnya. Akupun bisa merasakan kecupan kecilnya di dahiku. Ibu lalu melepas dekapannya lalu menatap wajahku sambil tersenyum. Bayangan itu lalu terbang bebas ke langit bersama Krayon Ijo, meninggalkanku sendiri dengan jejak cahaya matahari yang mulai membelai wajahku. Sambil menangis keras aku melambaikan tangan kearah cakrawala dan berteriak, “Selamat tinggal, ibu!!! Mulai sekarang aku berjanji akan kuat menghadapi semua ini! Aku menyayangimu Ibu!!!”. Aku lalu terduduk sambil tetap menangis. Beban yang selama ini mengendap di dadaku, sedikit demi sedikit terasa lepas. Irfan muncul di sampingku yang sedaritadi menyaksikan kejadian barusan. Lalu akupun bersandar di pundaknya. Menangis sepuas-puasnya, melepaskan seluruh emosi yang sejak lama terpendam.
Kini aku paham bahwa menangisi sesuatu berlarut-larut hanya akan menambah rasa sakit. Tiba saatnya aku harus ikhlas dan mencoba merelakan kepergian ibu. Seperti Caterpie yang bagiku wujudnya menggelikan, akhirnya bisa berevolusi menjadi Butterfree yang sangat cantik. Awalnya memang sulit untuk merelakan kepergian ibu, namun semua itu butuh proses layaknya seekor Metapod yang menunggu saat-saat ia berevolusi menjadi Butterfree. Aku akhirnya bisa melepaskan rasa sakit yang membelenggu dadaku, mencoba memulai kehidupan baru yang lebih berharga. Beberapa hari kemudian aku bisa berbaur dan tersenyum bersama anak-anak di panti asuhan ini. Kami melakukan aktifitas seperti biasa dan aku merasa sangat bahagia bersama mereka. Merekalah keluarga baruku. Terima kasih untuk si Krayon Ijo yang telah menuntunku untuk merelakan kepergian ibu. Dan buat ibu, di dunia ini mungkin ibu sudah tiada, namun ibu tak akan pernah hilang dari dalam lubuk hatiku. Selamat tinggal ibuku tersayang, semoga ibu tenang di alam sana…
--oOo--
Cerita ini dikarang oleh: argaketchum
Cerita ini dikarang oleh: argaketchum