Under the Afternoon Sky
Langit sore oranye cerah menaungi perjalanan kami sepulang sekolah.
Seperti biasa, aku pulang berjalan kaki bersama Akane dan Iroha.
Hawa musim panas mulai terasa, sebab libur musim panas akan dimulai esok hari.
Adapun jalan yang selalu kami lewati sepulang sekolah adalah rute di pinggiran kota. Padang rumput yang mengitari kota selalu memanjakan mata kami selama perjalanan—baik warna hijau miliknya yang menyegarkan di pagi hari, maupun warna oranye miliknya yang menenangkan selalu kami lewati.
Langkahku terhenti sejenak, kupandangi reruntuhan kota yang terletak agak jauh dari kota kami. Reruntuhan yang dikuasai pokemon liar dan tumbuh-tumbuhan itu menyimpan misteri yang menggelitik rasa ingin tahuku dan teman-temanku.
Legenda berkata, jika seseorang mengunjungi reruntuhan itu antara jam 5 sore sampai jam 7 malam, mereka akan mendengar melodi misterius dari dalam kota dan mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan hantu gentayangan penghuni reruntuhan itu.
Kami tidak begitu percaya dengan hantu yang bukan pokemon, tapi tertarik juga untuk pergi ke reruntuhan itu. Mungkin ini yang mereka maksud ketika mereka mengatakan bahwa remaja terlalu suka mengambil resiko dalam hidup.
“Nee, Mizuho…” sapa Akane padaku. “Ya?” jawabku singkat. “Ada apa, Akane?”
“Kita jadi pergi besok, kan?” Tanya gadis bermata merah itu padaku.
Hmm… Ia pasti memperhatikanku yang terus saja menatap reruntuhan itu. “Ah, ya. Tentu saja.” Jawabku. “Besok sore jam 4, kita berkumpul di padang rumput pinggiran kota.”
“Aku akan sediakan keperluan kita…” ujar Iroha mendadak.
“Ah, thanks… Tapi tidak perlu terlalu banyak, kita cuma ke reruntuhan sebelah kok…” jawabku tersenyum miring pada lelaki berkacamata itu.
“Tidak, kita perlu menyiapkan banyak hal—obat-obatan, peralatan pokemon, gadget, dan pertahanan diri darurat. Banyak orang nekad seperti kita mati sia-sia di plot film horror karena mereka tidak mempersiapkan diri mereka baik-baik.”
“Aah… Oke kalau begitu…” jawabku. Kadang aku takut dengan sifat Iroha. Bahkan ekspresi miring sepertiku juga tampak di wajah Akane.
“Sebaiknya kita pulang sebelum larut. Sekarang sudah pukul 17:27…” ujar Akane.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan pulang kami sambil bercakap-cakap kecil sampai kami mengambil jalan ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya…
Akhirnya aku, Akane, dan Iroha berkumpul di padang rumput pinggiran kota.
Setelah mengecek perlengkapan kami (agak lama karena perlengkapan serba lengkap yang dibawa Iroha), akhirnya kami berangkat menuju reruntuhan pinggiran kota sekitar pukul 16:30.
Kami sampai di depan reruntuhan sekitar pukul 16:50.
Reruntuhan yang “megah” itu terlihat menakjubkan. Rasanya seperti mengunjungi dunia lain yang tidak kukenali sama sekali.
Gedung-gedung pencakar langit tua berdiri seakan masih berusaha “mencakar” langit seperti pada masa peradaban dahulu.
Kendaraan-kendaraan tua diam tepat seperti keadaan mereka ketika diparkir dahulu, baik di tengah jalan maupun di garasi-garasi rumah.
Lampu-lampu lalu lintas tua yang tertutup dipanjat tanaman merambat.
“Keluarlah, Alakazam!” seruku seraya mengeluarkan satu-satunya pokemon milikku, Alakazam. Ia adalah pokemon kebanggaanku yang telah kuajari 11 move, meskipun sejauh ini tanpa move offensive yang dapat melukai lawan. Aku tidak begitu suka bertarung.
Aku baru saja akan memberi komando pada Alakazam, ketika Akane menyuruhku dan Iroha diam sejenak.
“Psst… Coba dengarkan.” Bisik Iroha.
Aku mencoba untuk mendengarkan apa yang dimaksudkan Akane, dan benar saja. Ada suara musik dari dalam kota. Apa ini melodi misterius yang dimaksud dalam legenda reruntuhan ini?
Kami bertiga masuk lebih dalam ke reruntuhan. Di tengah kota, akhirnya kami bisa mendengar melodi itu dengan lebih jelas lagi. Musik itu sepertinya berkumandang dari pengeras suara yang biasa diletakkan di tengah-tengah tempat umum, tetapi lebih besar.
Tapi tunggu… Apakah ada pengeras suara yang masih berfungsi di tengah reruntuhan kota seperti ini?
Akhirnya kami bertiga sampai di jantung kota. Di perempatan jalan, tampaklah sesosok gadis berusia kira-kira 14 tahunan. Ia berdiri di bagian paling tengah perempatan itu, membelakangi kami. Kami dapat mendengarnya, sayu-sayu; suara lembut nyanyian gadis kecil itu…
Matahari terbenam, hari t'lah berakhir,
Gema lonceng dari tempat jauh terdengar...
Mari kita pulang bersama, saling bergandengan tangan.
Rembulan bersinar, anak-anak t'lah pulang,
Kelap-kelip bintang langit senja terlihat...
Mari kita bermimpi, bersama dengan cahya bintang.
Aku berusaha mendekati gadis itu bersama Alakazam.
Akane dan Iroha berusaha mencegahku, tetapi rasa ingin tahuku lebih besar dari mereka.
Pada saat aku berhasil telah mendekati gadis itu, ia memalingkan wajahnya padaku.
…
Kubuka mataku, tampak lampu menyala kamarku menyala terang di langit-langit.
Akupun segera bangkit duduk, kupegangi kepalaku yang terasa agak pusing.
Di sisi tempat tidurku, Akane dan Iroha tampak duduk dengan ekspresi kuatir.
“A… Ada apa, nih?” tanyaku masih agak kabur.
“Tadi ketika kamu menghampiri sosok di reruntuhan, kamu terjatuh seperti orang kelelahan saat berbaris menunggu kapan selesainya pidato walikota kota Eidenburgh.” Jawab Iroha sedikit bercanda.
“Tadi juga Alakazam tampak pusing ketika kamu terjatuh, seperti ada sesuatu yang ‘menyerang’ pikiran kalian…” timpal Akane.
“Mizuho… Aku memiliki perasaan kalau yang kamu temui tadi adalah hantu yang mereka bicarakan, and sepertinya ia tidak bersahabat…” ucap Akane lagi. “Mungkin sebaiknya kita tidak usah ke sana lagi…”
“Aku masih penasaran…” gumamku sambil tersenyum, memegangi dahiku.
“Kamu yakin?” Tanya Iroha singkat.
“Yap. Kalau kalian tidak mau, aku akan pergi sendiri saja… Aku juga tidak mau kalian mendapat serangan sepertiku.” Jawabku. Yaah… Aku juga tidak dapat menyalahkan mereka. Keselamatan mereka lebih penting dari rasa ingin tahuku. Aku tidak dapat mengorbankan mereka hanya untuk itu.
“Tetapi sebelum itu…” tambahku.
Ekspresi bingung muncul dari wajah kedua temanku itu.
“Aku akan mencari lebih banyak info mengenai tempat itu. Sepertinya aku tahu orang yang tepat…” kataku sambil tersenyum.
Keesokan harinya, di depan rumah keluarga Midoriyama.
Kuketuk pintu rumah itu, sambil berharap orang yang aku cari muncul.
Setelah beberapa lama, akhirnya gadis yang aku cari-cari membukakan pintu rumahnya.
*flashback semalam*
Iroha:
Hmm… Aku tidak tahu ID video call Hakamori-sensei.
Akane:
Sama… Ah! Tapi aku tahu siapa yang mungkin tahu! Dia begitu dekat sama sensei. Dia kakak kelas kita…
*flashback ends*
“Selamat siang kak Yuzu…” kataku memberi salam pada siswi kelas 3 SMA itu.
Yuzu Midoriyama, siswi paling pintar di sekolahku (Well, dia pemenang lomba paling bergengsi di Neo Eidenburgh setahun yang lalu...) Akane bilang dia tahu ID video call Hakamori-sensei. Aku masih heran kenapa dia tidak mempublikasikan ID-nya saja… Hhh…
“Ah, kamu Mizuho, kan? Ada yang bisa aku bantu?” Tanya kak Yuzu padaku.
“Eng… Aku hanya ingin menanyakan ID video call Hakamori-sensei. Soalnya aku ada… Perlu dengannya, dan aku perlu… ID-nya.” Jawabku dengan sangat garing.
“Aah, ID Harute-sensei yah… Sebentar.” jawab kak Yuzu. Aku agak tercengang ketika ia mengunakan first-name basis.
“Ah ya. ID-nya MightySimisage. Aku masih heran kenapa ia tidak mempublikasikan ID-nya saja… Hhh…” ujar kak Yuzu.
Tadinya aku juga heran, tapi sekarang tidak lagi.
“Aah, thanks yah, kak Yuzu…” kataku sambil membungkuk.
“Sama-sama… Kamu tidak mau mampir dulu?” Tanya kak Yuzu, namun aku tolak secara halus karena aku ingin segera menelepon Hakamori-sensei.
Di rumah Mizuho…
Hari ini, aku memutuskan untuk mencari informasi mengenai legenda reruntuhan itu dulu. Hakamori-sensei memiliki koleksi pengentahuan yang banyak, termasuk urban legend. Ia pasti dapat membantu!
“Aa, akhirnya aku terhubung…” gumamku sambil tersenyum ke layar PC. Sekarang tinggal berdoa, semoga dia—Ah! Dia sedang online!
“Selamat sore, Hakamori-sensei!” seruku ke mikrofon laptop milikku.
“Gaah! Kupikir hanya segelintir orang saja yang tahu ID-ku… Aah, selamat sore!” seru Hakamori-sensei. “Oh, Mizuho… Ada yang bisa aku bantu?”
Akhirnya kujelaskan situasi sekarang kepada Hakamori-sensei. Ia tampak mengikuti ceritaku dengan serius, seperti seorang peneliti hal supernatural yang bertemu dengan kliennya.
“Hoo… Sepertinya aku bisa menjelaskan itu. Menurut catatan sejarah dari reruntuhan itu, dan buku penelitian supernatural yang aku baca… Yang kamu lihat itu adalah benar-benar “hantu”, meskipun sulit dipercaya… Ia hanyalah satu dari sekian banyak hantu yang mungkin saja menghuni reruntuhan itu. Namun, jika ia menampakkan dirinya, biasanya itu karena ia memiliki urusan yang belum ia selesaikan.” Jelas Hakamori-sensei.
Aku mengangguk, menerima penjelasannya.
“Sensei, jika aku bertemu dengan dia lagi… Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku.
“Pertama, pastikan kamu berada di bawah efek Foresight. Foresight memungkinkanmu menjadi “sejajar” dengan makhluk astral selagi menjadi makhluk energi seperti biasa pada saat yang sama, sehingga kalian dapat saling kontak.
Kedua, jangan kejutkan makhluk itu seperti kemarin. Ia akan merasa kehadiranmu mengancamnya dan akan menyerangmu lagi.
Ketiga, jangan takut. Rasa takut akan mengoyak keadaan psikismu dan menyusahkanmu untuk berkomunikasi dengan makhluk itu.” Jelas Hakamori-sensei. “Begitulah cara berkontak dengan gadis misterius itu.”
“Yup, terimakasih Hakamori-sensei!” seruku.
“Sama-sama… Selamat bersenang-senang!” serunya seraya menutup video call. Kalimat terakhirnya membuatku merinding.
Keesokan harinya…
Aku berdiri dengan tegap di depan reruntuhan itu, jam tanganku menunjukkan pukul 16:40.
Saatnya bertualang.
“Alakazam, Foresight!” perintahku pada Alakazam. Foresight memberikan kemampuan untuk berkontak sejajar dengan makhluk astral.
“Alakazam, Light Screen!”—move ini akan memberikanku perlindungan dari serangan pokemon liar jika mereka merasa ingin membunuhku.
Aku berjalan menelusuri kota langit berubah warna menjadi oranye—waktu menunjukkan pukul 17:00 ketika aku melihat jam tanganku.
Sayu di udara, aku mulai dapat mendengar musik itu lagi. Alunan sunyi dari pengeras suara di tengah kota…
Ketika aku mencapai sumber suara itu—lokasi yang sama dengan waktu itu, tentu saja aku disambut oleh gadis misterius itu. Kali ini kucoba memanggil gadis itu.
“Hei, kamu yang di sana…” sahutku agak pelan.
Gadis itu tampak terkejut ketika melihat ke arahku. Dengan seketika gelombang kehijauan memancar dari tubuhnya, namun gelombang itu ditepis oleh perlindungan move Alakazam.
Gadis itu terdiam di tempat.
“Aku tidak bermaksud yang tidak-tidak, kok. Aku hanya penasaran…” kataku sambil mendekat. “Apa sebenarnya yang terjadi di sini, dan kenapa kamu selalu menyanyi di tempat ini?”
Gadis itu tidak berkata apa-apa, melainkan berjalan menuju tempatku berdiri, kemudian menatapku dengan tatapan yang dalam…
…
Seketika, aku sadar bahwa aku berdiri di tengah-tengah keramaian orang-orang yang panik di kota. Gedung-gedung terbakar, riuh kekacauan mengaung di mana-mana, sementara hujan api, es, dan petir jatuh dari langit. Semua itu terjadi pada senja hari, ketika langit oranye dan… Musik ini? Ini musik yang selalu terdengar…
Entah mengapa aku tidak terpengaruh sedikitpun dengan semua itu—apa ini hanya ilusi?
Di tengah kota, tampak sang gadis berdiri sendiri. Ia tampak panik mencari seseorang, ketika gelombang api turun dari langit dan menyambarnya.
“!?” kubuka mataku dengan segera. Tubuhku bersimbah keringat dingin, sementara aku tertidur di tengah reruntuhan kota, langit oranye mulai tergantikan dengan bintang-bintang.
Ketika aku mencoba untuk berdiri, aku sadar bahwa ada secarik kertas di dadaku. Di atas kertas itu terdapat gambar dari suatu pokemon, namun aku tidak dapat mengenalnya karena gambar itu tidak begitu bagus. Selain itu, tampak sosok manusia yang menunggangi pokemon tersebut?
Akan kutanyakan pada Hakamori-sensei besok. Yang aku tahu adalah gadis itu pasti adalah korban suatu hal yang terjadi disini.
Keesokan paginya…
“Aa, jadi itu pemberian hantu itu?” Tanya Hakamori-sensei melihat gambar yang kutunjukkan di layar komputer.
“Mungkin saja. Aku menemukan gambar ini di dadaku setelah bangun dari penglihatan yang kuceritakan tadi.” Jelasku.
“Hmm… Aku tahu gambar ini. Ini ada hubungannya dengan sejarah tempat tinggal kita sekarang. Pasti ini salah satu dari mereka…” ujar Hakamori-sensei.
“Mereka?” tanyaku bingung.
“Besok siang, datanglah ke Aden Café. Disana kita akan membicarakan sesuatu, hehe…” ujar Hakamori-sensei sambil tersenyum.
Mungkin hari ini aku akan istirahat saja… Efek Foresight sepertinya melemahkan komposisi “tubuh energi”-ku, atau setidaknya itulah yang dikatakan Hakamori-sensei tadi…
Keesokan harinya, di Aden Café…
“Heei! Mizuho!” seru Hakamori-sensei sambil melambai dari meja kafe.
Akupun langsung berjalan ke arah sensei. Sepertinya ia membawa seorang pria lain dan seorang wanita bersamanya…
“Mizuho, perkenalkan. Yuuto Oozora. Ia tahu banyak tentang apa yang kita diskusikan kemarin.” Ujar Hakamori-sensei memperkenalkan.
“Salam kenal…” ujar Yuuto.
“Dan ini adalah pacarnya, Kaoru Kagami.” Ujar Harute-sensei lagi, kali ini dengan nada teasing.
“Hei!” seru Kaoru, wajahnya tampak memerah karena malu.
Akupun menunjukkan gambar pemberian gadis itu kepada semuanya dan menceritakan ulang bagaimana aku mendapatkan gambar itu.
“Arcadian.” Kata Yuuto. “Ratusan tahun yang lalu, pada masa peradaban yang lalu, mereka datang menghukum manusia atas perbuatan mereka terhadap planet… Tetapi eksekusi mereka juga memakan banyak korban tidak bersalah karena mereka tidak berpikir dengan baik ketika melakukan tugas mereka.” Tambanya, raut wajahnya sedih.
“Aah, cerita soal mereka yah… Sepertinya aku juga pernah mendengarnya. Pelajaran sejarah juga sedikit membahas tentang mereka. Kenapa mereka melakukan eksekusi dengan cara itu? Apa mereka tidak berpikir?” ujarku memberi komentar. Entah kenapa wajah Yuuto bertambah sedih setelah mendengar komentarku.
“Kami akan pergi denganmu besok sore. Kita akan menenangkan arwah gadis itu.” Ujar Yuuto pelan. Kami yang lain mengangguk mengiyakan.
Setelah itu, kami melanjutkan pembicaraan kami sedikit mengenai gadis itu dan hal-hal lain hingga akhirnya kami pulang ke rumah kami masing-masing…
Malamnya, di rumah Mizuho…
“Besok sore, roh gadis itu akhirnya akan ditenangkan, dan Yuuto bilang kita akan menemukan jawaban yang kita cari…” gumamku sambil melihat langit-langit.
“Akane dan Iroha… Kalau saja mereka ikut juga…” lanjutku berharap. The more, the merrier… But, eh…
Kamarku yang gelap mengundang tidurku seakan-akan ada pokemon yang menggunakan Hypnosis kepadaku.
Pandanganku makin sayu, hingga akhirnya aku tertidur…
Apa yang akan terjadi besok?
Keesokan sorenya, reruntuhan kota…
“Yup, semuanya siap?” Tanya Hakamori-sensei.
Kami semua mengangguk.
Sebelum kami berjalan, tampak dua sosok berlari menuju ke arah kami. Rupanya itu Akane dan Iroha! (Lengkap dengan ransel!)
“Kalian datang…” ujarku pelan.
“Kami dengar dari Hakamori-sensei kalau hari ini kalian akan melakukan penenangan roh, jadi kami datang. Iroha membawa perlengkapan yang komplit.” Kata Akane.
Iroha kemudian menunjukkan ranselnya yang berisi berbagai perlengkapan eksorsisme.
“Err… Thanks sudah datang…” jawabku garing.
Akhirnya kami sampai ke tengah kota. Melodi yang sama mengalun, dan suara nyanyian gadis itu terdengar kembali…
Matahari terbenam, hari t'lah berakhir,
Gema lonceng dari tempat jauh terdengar...
Mari kita pulang bersama, saling bergandengan tangan.
Rembulan bersinar, anak-anak t'lah pulang,
Kelap-kelip bintang langit senja terlihat...
Mari kita bermimpi, bersama dengan cahya bintang.
Setelah dilengkapi dengan Foresight dan Light Screen, kamipun mendekati gadis itu.
Gadis itu berhenti bernyanyi setelah mengetahui keberadaan kami. Seketika, raut wajah terkejut terbentuk di wajahnya ketika ia melihat Yuuto.
Yuuto terdiam, wajahnya berubah sedih. “Maaf. Maafkan kami.” Katanya pada gadis itu.
“Ada apa, Hakamori-sensei? Apa sebenarnya hubungan gadis itu dan—“ belum saja aku selesai berbicara, kak Kaoru sudah memotongku.
“Arcadian. Yuuto adalah Arcadian.” Katanya.
“Hah? Kak Yuuto adalah Arcadian?” reaksiku terkejut. Apa ini benar?
“Yuuto adalah salah satu dari para Judge Arcadian yang menghukum manusia ratusan tahun yang lalu.” Ujar Hakamori-sensei. “Namun ia percaya kalau manusia bisa berubah dan merasa menyesal atas perbuatan para Judge dahulu. Para Judge juga sekarang telah menyesali perbuatan mereka dan hanya mengawai Planet dari jauh.” Jelasnya.
“Jadi kak Yuuto ini adalah salah satu Judge dalam legenda?” Tanya Iroha terkejut.
“Kami hanya menceritakan ini pada orang-orang tertentu saja, dan aku juga memerintahkan murid-murid didikanku untuk merahasiakan ini.” Timpal Hakamori-sensei kembali.
Tiba-tiba saja muncul bayangan-bayangan manusia dari tanah, mengepung kami. Kami menyiagakan pokemon kami, tapi Yuuto menghentikan kami.
“Mereka hanyalah arwah orang-orang lain yang tidak tenang karena kejadian ratusan tahun yang lalu. Mereka semua bangkit karena merasakan kehadiran dariku.” Seru Yuuto.
“Aku akan menenangkan arwah mereka, sekarang kalian lindungi aku!” tambah Yuuto lagi.
“Kak Yuuto… Alakazam, Barrier! Light Screen!” seruku. Alakazam kemudian menciptakan dua lapisan perisai yang melindungi kami dan kak Yuuto. Kak Yuuto dan Iroha kemudian mempersiapkan upacara penenangan arwah.
“Mizuho, gunakan Calm Mind padaku!” seru kak Yuuto. Aku akhirnya menyuruh Alakazam menggunakan move itu pada kak Yuuto.
Bayangan-bayangan dari luar mulai mencakar-cakar perisai kami, sementara gadis itu hanya diam berdiri, dan mulai menangis. Entah kenapa ia berbeda. Apa ia tidak marah terhadap kak Yuuto? Apa ia hanya sekedar takut saja?
Kak Yuuto terus mengucapkan kata-kata untuk menenangkan arwah-arwah itu, ia juga tampak mulai menangis. Apakah ia begitu menyesal karena pernah merenggut nyawa orang-orang ini?
Beberapa lama kemudian, bayangan orang-orang yang mencakar perisai kami semakin berkurang, hingga akhirnya hilang sama sekali. Apakah mereka semua telah menjadi tenang?
Keadaan begitu sepi, tidak ada musik yang terdengar. Yang tertinggal hanya gadis itu.
Gadis itu menatap kami, matanya yang oranye penuh air mata.
Kak Yuuto mengatakan sesuatu kepadanya yang tidak dapat aku dengarkan dengan baik, namun perkataan itu berhasil membuat gadis itu tersenyum dan perlahan-lahan mulai menghilang di depan kami.
“Sudah berakhir…” ujar kak Yuuto sambil tersenyum, meskipun matanya masih bengkak karena menangis.
Kami semua menarik napas lega, dan berjalan keluar reruntuhan…
Di depan reruntuhan…
“Nee, kak Yuuto…”
“Hm? Ada apa Mizuho?” jawabnya.
“Mengapa gadis itu… Harus memberikan gambar itu kepadaku? Mengapa tidak ia katakan langsung saja?” tanyaku mengenai gadis itu.
“Hmm… Mungkin karena ia kurang dapat berkomunikasi dengan makhluk yang bukan astral sejati…” ujar kak Yuuto sambil berpikir.
“Atau karena ia malu berbicara langsung kepadamu…” lanjutnya sambil tersenyum jahil padaku.
“A… Apa? Mana mungkin?” jawabku tersendat-sendat.
“Lagipula Yuuto menemui gadis itu hampir tiap hari, kaan~” goda Akane. Argh, jangan Akane… Jangan dia! Cewek itu…
“Mungkin ia masih memperhatikanmu dari atas sekarang!” seru kak Kaoru.
Semua orang selain akupun tertawa terbahak-bahak dan aku hanya bisa memasang wajah malu, sementara langit oranye yang mulai tertutup oleh bintang menaungi kami…
-TAMAT-
(neo)
Seperti biasa, aku pulang berjalan kaki bersama Akane dan Iroha.
Hawa musim panas mulai terasa, sebab libur musim panas akan dimulai esok hari.
Adapun jalan yang selalu kami lewati sepulang sekolah adalah rute di pinggiran kota. Padang rumput yang mengitari kota selalu memanjakan mata kami selama perjalanan—baik warna hijau miliknya yang menyegarkan di pagi hari, maupun warna oranye miliknya yang menenangkan selalu kami lewati.
Langkahku terhenti sejenak, kupandangi reruntuhan kota yang terletak agak jauh dari kota kami. Reruntuhan yang dikuasai pokemon liar dan tumbuh-tumbuhan itu menyimpan misteri yang menggelitik rasa ingin tahuku dan teman-temanku.
Legenda berkata, jika seseorang mengunjungi reruntuhan itu antara jam 5 sore sampai jam 7 malam, mereka akan mendengar melodi misterius dari dalam kota dan mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan hantu gentayangan penghuni reruntuhan itu.
Kami tidak begitu percaya dengan hantu yang bukan pokemon, tapi tertarik juga untuk pergi ke reruntuhan itu. Mungkin ini yang mereka maksud ketika mereka mengatakan bahwa remaja terlalu suka mengambil resiko dalam hidup.
“Nee, Mizuho…” sapa Akane padaku. “Ya?” jawabku singkat. “Ada apa, Akane?”
“Kita jadi pergi besok, kan?” Tanya gadis bermata merah itu padaku.
Hmm… Ia pasti memperhatikanku yang terus saja menatap reruntuhan itu. “Ah, ya. Tentu saja.” Jawabku. “Besok sore jam 4, kita berkumpul di padang rumput pinggiran kota.”
“Aku akan sediakan keperluan kita…” ujar Iroha mendadak.
“Ah, thanks… Tapi tidak perlu terlalu banyak, kita cuma ke reruntuhan sebelah kok…” jawabku tersenyum miring pada lelaki berkacamata itu.
“Tidak, kita perlu menyiapkan banyak hal—obat-obatan, peralatan pokemon, gadget, dan pertahanan diri darurat. Banyak orang nekad seperti kita mati sia-sia di plot film horror karena mereka tidak mempersiapkan diri mereka baik-baik.”
“Aah… Oke kalau begitu…” jawabku. Kadang aku takut dengan sifat Iroha. Bahkan ekspresi miring sepertiku juga tampak di wajah Akane.
“Sebaiknya kita pulang sebelum larut. Sekarang sudah pukul 17:27…” ujar Akane.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan pulang kami sambil bercakap-cakap kecil sampai kami mengambil jalan ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya…
Akhirnya aku, Akane, dan Iroha berkumpul di padang rumput pinggiran kota.
Setelah mengecek perlengkapan kami (agak lama karena perlengkapan serba lengkap yang dibawa Iroha), akhirnya kami berangkat menuju reruntuhan pinggiran kota sekitar pukul 16:30.
Kami sampai di depan reruntuhan sekitar pukul 16:50.
Reruntuhan yang “megah” itu terlihat menakjubkan. Rasanya seperti mengunjungi dunia lain yang tidak kukenali sama sekali.
Gedung-gedung pencakar langit tua berdiri seakan masih berusaha “mencakar” langit seperti pada masa peradaban dahulu.
Kendaraan-kendaraan tua diam tepat seperti keadaan mereka ketika diparkir dahulu, baik di tengah jalan maupun di garasi-garasi rumah.
Lampu-lampu lalu lintas tua yang tertutup dipanjat tanaman merambat.
“Keluarlah, Alakazam!” seruku seraya mengeluarkan satu-satunya pokemon milikku, Alakazam. Ia adalah pokemon kebanggaanku yang telah kuajari 11 move, meskipun sejauh ini tanpa move offensive yang dapat melukai lawan. Aku tidak begitu suka bertarung.
Aku baru saja akan memberi komando pada Alakazam, ketika Akane menyuruhku dan Iroha diam sejenak.
“Psst… Coba dengarkan.” Bisik Iroha.
Aku mencoba untuk mendengarkan apa yang dimaksudkan Akane, dan benar saja. Ada suara musik dari dalam kota. Apa ini melodi misterius yang dimaksud dalam legenda reruntuhan ini?
Kami bertiga masuk lebih dalam ke reruntuhan. Di tengah kota, akhirnya kami bisa mendengar melodi itu dengan lebih jelas lagi. Musik itu sepertinya berkumandang dari pengeras suara yang biasa diletakkan di tengah-tengah tempat umum, tetapi lebih besar.
Tapi tunggu… Apakah ada pengeras suara yang masih berfungsi di tengah reruntuhan kota seperti ini?
Akhirnya kami bertiga sampai di jantung kota. Di perempatan jalan, tampaklah sesosok gadis berusia kira-kira 14 tahunan. Ia berdiri di bagian paling tengah perempatan itu, membelakangi kami. Kami dapat mendengarnya, sayu-sayu; suara lembut nyanyian gadis kecil itu…
Matahari terbenam, hari t'lah berakhir,
Gema lonceng dari tempat jauh terdengar...
Mari kita pulang bersama, saling bergandengan tangan.
Rembulan bersinar, anak-anak t'lah pulang,
Kelap-kelip bintang langit senja terlihat...
Mari kita bermimpi, bersama dengan cahya bintang.
Aku berusaha mendekati gadis itu bersama Alakazam.
Akane dan Iroha berusaha mencegahku, tetapi rasa ingin tahuku lebih besar dari mereka.
Pada saat aku berhasil telah mendekati gadis itu, ia memalingkan wajahnya padaku.
…
Kubuka mataku, tampak lampu menyala kamarku menyala terang di langit-langit.
Akupun segera bangkit duduk, kupegangi kepalaku yang terasa agak pusing.
Di sisi tempat tidurku, Akane dan Iroha tampak duduk dengan ekspresi kuatir.
“A… Ada apa, nih?” tanyaku masih agak kabur.
“Tadi ketika kamu menghampiri sosok di reruntuhan, kamu terjatuh seperti orang kelelahan saat berbaris menunggu kapan selesainya pidato walikota kota Eidenburgh.” Jawab Iroha sedikit bercanda.
“Tadi juga Alakazam tampak pusing ketika kamu terjatuh, seperti ada sesuatu yang ‘menyerang’ pikiran kalian…” timpal Akane.
“Mizuho… Aku memiliki perasaan kalau yang kamu temui tadi adalah hantu yang mereka bicarakan, and sepertinya ia tidak bersahabat…” ucap Akane lagi. “Mungkin sebaiknya kita tidak usah ke sana lagi…”
“Aku masih penasaran…” gumamku sambil tersenyum, memegangi dahiku.
“Kamu yakin?” Tanya Iroha singkat.
“Yap. Kalau kalian tidak mau, aku akan pergi sendiri saja… Aku juga tidak mau kalian mendapat serangan sepertiku.” Jawabku. Yaah… Aku juga tidak dapat menyalahkan mereka. Keselamatan mereka lebih penting dari rasa ingin tahuku. Aku tidak dapat mengorbankan mereka hanya untuk itu.
“Tetapi sebelum itu…” tambahku.
Ekspresi bingung muncul dari wajah kedua temanku itu.
“Aku akan mencari lebih banyak info mengenai tempat itu. Sepertinya aku tahu orang yang tepat…” kataku sambil tersenyum.
Keesokan harinya, di depan rumah keluarga Midoriyama.
Kuketuk pintu rumah itu, sambil berharap orang yang aku cari muncul.
Setelah beberapa lama, akhirnya gadis yang aku cari-cari membukakan pintu rumahnya.
*flashback semalam*
Iroha:
Hmm… Aku tidak tahu ID video call Hakamori-sensei.
Akane:
Sama… Ah! Tapi aku tahu siapa yang mungkin tahu! Dia begitu dekat sama sensei. Dia kakak kelas kita…
*flashback ends*
“Selamat siang kak Yuzu…” kataku memberi salam pada siswi kelas 3 SMA itu.
Yuzu Midoriyama, siswi paling pintar di sekolahku (Well, dia pemenang lomba paling bergengsi di Neo Eidenburgh setahun yang lalu...) Akane bilang dia tahu ID video call Hakamori-sensei. Aku masih heran kenapa dia tidak mempublikasikan ID-nya saja… Hhh…
“Ah, kamu Mizuho, kan? Ada yang bisa aku bantu?” Tanya kak Yuzu padaku.
“Eng… Aku hanya ingin menanyakan ID video call Hakamori-sensei. Soalnya aku ada… Perlu dengannya, dan aku perlu… ID-nya.” Jawabku dengan sangat garing.
“Aah, ID Harute-sensei yah… Sebentar.” jawab kak Yuzu. Aku agak tercengang ketika ia mengunakan first-name basis.
“Ah ya. ID-nya MightySimisage. Aku masih heran kenapa ia tidak mempublikasikan ID-nya saja… Hhh…” ujar kak Yuzu.
Tadinya aku juga heran, tapi sekarang tidak lagi.
“Aah, thanks yah, kak Yuzu…” kataku sambil membungkuk.
“Sama-sama… Kamu tidak mau mampir dulu?” Tanya kak Yuzu, namun aku tolak secara halus karena aku ingin segera menelepon Hakamori-sensei.
Di rumah Mizuho…
Hari ini, aku memutuskan untuk mencari informasi mengenai legenda reruntuhan itu dulu. Hakamori-sensei memiliki koleksi pengentahuan yang banyak, termasuk urban legend. Ia pasti dapat membantu!
“Aa, akhirnya aku terhubung…” gumamku sambil tersenyum ke layar PC. Sekarang tinggal berdoa, semoga dia—Ah! Dia sedang online!
“Selamat sore, Hakamori-sensei!” seruku ke mikrofon laptop milikku.
“Gaah! Kupikir hanya segelintir orang saja yang tahu ID-ku… Aah, selamat sore!” seru Hakamori-sensei. “Oh, Mizuho… Ada yang bisa aku bantu?”
Akhirnya kujelaskan situasi sekarang kepada Hakamori-sensei. Ia tampak mengikuti ceritaku dengan serius, seperti seorang peneliti hal supernatural yang bertemu dengan kliennya.
“Hoo… Sepertinya aku bisa menjelaskan itu. Menurut catatan sejarah dari reruntuhan itu, dan buku penelitian supernatural yang aku baca… Yang kamu lihat itu adalah benar-benar “hantu”, meskipun sulit dipercaya… Ia hanyalah satu dari sekian banyak hantu yang mungkin saja menghuni reruntuhan itu. Namun, jika ia menampakkan dirinya, biasanya itu karena ia memiliki urusan yang belum ia selesaikan.” Jelas Hakamori-sensei.
Aku mengangguk, menerima penjelasannya.
“Sensei, jika aku bertemu dengan dia lagi… Apa yang harus aku lakukan?” tanyaku.
“Pertama, pastikan kamu berada di bawah efek Foresight. Foresight memungkinkanmu menjadi “sejajar” dengan makhluk astral selagi menjadi makhluk energi seperti biasa pada saat yang sama, sehingga kalian dapat saling kontak.
Kedua, jangan kejutkan makhluk itu seperti kemarin. Ia akan merasa kehadiranmu mengancamnya dan akan menyerangmu lagi.
Ketiga, jangan takut. Rasa takut akan mengoyak keadaan psikismu dan menyusahkanmu untuk berkomunikasi dengan makhluk itu.” Jelas Hakamori-sensei. “Begitulah cara berkontak dengan gadis misterius itu.”
“Yup, terimakasih Hakamori-sensei!” seruku.
“Sama-sama… Selamat bersenang-senang!” serunya seraya menutup video call. Kalimat terakhirnya membuatku merinding.
Keesokan harinya…
Aku berdiri dengan tegap di depan reruntuhan itu, jam tanganku menunjukkan pukul 16:40.
Saatnya bertualang.
“Alakazam, Foresight!” perintahku pada Alakazam. Foresight memberikan kemampuan untuk berkontak sejajar dengan makhluk astral.
“Alakazam, Light Screen!”—move ini akan memberikanku perlindungan dari serangan pokemon liar jika mereka merasa ingin membunuhku.
Aku berjalan menelusuri kota langit berubah warna menjadi oranye—waktu menunjukkan pukul 17:00 ketika aku melihat jam tanganku.
Sayu di udara, aku mulai dapat mendengar musik itu lagi. Alunan sunyi dari pengeras suara di tengah kota…
Ketika aku mencapai sumber suara itu—lokasi yang sama dengan waktu itu, tentu saja aku disambut oleh gadis misterius itu. Kali ini kucoba memanggil gadis itu.
“Hei, kamu yang di sana…” sahutku agak pelan.
Gadis itu tampak terkejut ketika melihat ke arahku. Dengan seketika gelombang kehijauan memancar dari tubuhnya, namun gelombang itu ditepis oleh perlindungan move Alakazam.
Gadis itu terdiam di tempat.
“Aku tidak bermaksud yang tidak-tidak, kok. Aku hanya penasaran…” kataku sambil mendekat. “Apa sebenarnya yang terjadi di sini, dan kenapa kamu selalu menyanyi di tempat ini?”
Gadis itu tidak berkata apa-apa, melainkan berjalan menuju tempatku berdiri, kemudian menatapku dengan tatapan yang dalam…
…
Seketika, aku sadar bahwa aku berdiri di tengah-tengah keramaian orang-orang yang panik di kota. Gedung-gedung terbakar, riuh kekacauan mengaung di mana-mana, sementara hujan api, es, dan petir jatuh dari langit. Semua itu terjadi pada senja hari, ketika langit oranye dan… Musik ini? Ini musik yang selalu terdengar…
Entah mengapa aku tidak terpengaruh sedikitpun dengan semua itu—apa ini hanya ilusi?
Di tengah kota, tampak sang gadis berdiri sendiri. Ia tampak panik mencari seseorang, ketika gelombang api turun dari langit dan menyambarnya.
“!?” kubuka mataku dengan segera. Tubuhku bersimbah keringat dingin, sementara aku tertidur di tengah reruntuhan kota, langit oranye mulai tergantikan dengan bintang-bintang.
Ketika aku mencoba untuk berdiri, aku sadar bahwa ada secarik kertas di dadaku. Di atas kertas itu terdapat gambar dari suatu pokemon, namun aku tidak dapat mengenalnya karena gambar itu tidak begitu bagus. Selain itu, tampak sosok manusia yang menunggangi pokemon tersebut?
Akan kutanyakan pada Hakamori-sensei besok. Yang aku tahu adalah gadis itu pasti adalah korban suatu hal yang terjadi disini.
Keesokan paginya…
“Aa, jadi itu pemberian hantu itu?” Tanya Hakamori-sensei melihat gambar yang kutunjukkan di layar komputer.
“Mungkin saja. Aku menemukan gambar ini di dadaku setelah bangun dari penglihatan yang kuceritakan tadi.” Jelasku.
“Hmm… Aku tahu gambar ini. Ini ada hubungannya dengan sejarah tempat tinggal kita sekarang. Pasti ini salah satu dari mereka…” ujar Hakamori-sensei.
“Mereka?” tanyaku bingung.
“Besok siang, datanglah ke Aden Café. Disana kita akan membicarakan sesuatu, hehe…” ujar Hakamori-sensei sambil tersenyum.
Mungkin hari ini aku akan istirahat saja… Efek Foresight sepertinya melemahkan komposisi “tubuh energi”-ku, atau setidaknya itulah yang dikatakan Hakamori-sensei tadi…
Keesokan harinya, di Aden Café…
“Heei! Mizuho!” seru Hakamori-sensei sambil melambai dari meja kafe.
Akupun langsung berjalan ke arah sensei. Sepertinya ia membawa seorang pria lain dan seorang wanita bersamanya…
“Mizuho, perkenalkan. Yuuto Oozora. Ia tahu banyak tentang apa yang kita diskusikan kemarin.” Ujar Hakamori-sensei memperkenalkan.
“Salam kenal…” ujar Yuuto.
“Dan ini adalah pacarnya, Kaoru Kagami.” Ujar Harute-sensei lagi, kali ini dengan nada teasing.
“Hei!” seru Kaoru, wajahnya tampak memerah karena malu.
Akupun menunjukkan gambar pemberian gadis itu kepada semuanya dan menceritakan ulang bagaimana aku mendapatkan gambar itu.
“Arcadian.” Kata Yuuto. “Ratusan tahun yang lalu, pada masa peradaban yang lalu, mereka datang menghukum manusia atas perbuatan mereka terhadap planet… Tetapi eksekusi mereka juga memakan banyak korban tidak bersalah karena mereka tidak berpikir dengan baik ketika melakukan tugas mereka.” Tambanya, raut wajahnya sedih.
“Aah, cerita soal mereka yah… Sepertinya aku juga pernah mendengarnya. Pelajaran sejarah juga sedikit membahas tentang mereka. Kenapa mereka melakukan eksekusi dengan cara itu? Apa mereka tidak berpikir?” ujarku memberi komentar. Entah kenapa wajah Yuuto bertambah sedih setelah mendengar komentarku.
“Kami akan pergi denganmu besok sore. Kita akan menenangkan arwah gadis itu.” Ujar Yuuto pelan. Kami yang lain mengangguk mengiyakan.
Setelah itu, kami melanjutkan pembicaraan kami sedikit mengenai gadis itu dan hal-hal lain hingga akhirnya kami pulang ke rumah kami masing-masing…
Malamnya, di rumah Mizuho…
“Besok sore, roh gadis itu akhirnya akan ditenangkan, dan Yuuto bilang kita akan menemukan jawaban yang kita cari…” gumamku sambil melihat langit-langit.
“Akane dan Iroha… Kalau saja mereka ikut juga…” lanjutku berharap. The more, the merrier… But, eh…
Kamarku yang gelap mengundang tidurku seakan-akan ada pokemon yang menggunakan Hypnosis kepadaku.
Pandanganku makin sayu, hingga akhirnya aku tertidur…
Apa yang akan terjadi besok?
Keesokan sorenya, reruntuhan kota…
“Yup, semuanya siap?” Tanya Hakamori-sensei.
Kami semua mengangguk.
Sebelum kami berjalan, tampak dua sosok berlari menuju ke arah kami. Rupanya itu Akane dan Iroha! (Lengkap dengan ransel!)
“Kalian datang…” ujarku pelan.
“Kami dengar dari Hakamori-sensei kalau hari ini kalian akan melakukan penenangan roh, jadi kami datang. Iroha membawa perlengkapan yang komplit.” Kata Akane.
Iroha kemudian menunjukkan ranselnya yang berisi berbagai perlengkapan eksorsisme.
“Err… Thanks sudah datang…” jawabku garing.
Akhirnya kami sampai ke tengah kota. Melodi yang sama mengalun, dan suara nyanyian gadis itu terdengar kembali…
Matahari terbenam, hari t'lah berakhir,
Gema lonceng dari tempat jauh terdengar...
Mari kita pulang bersama, saling bergandengan tangan.
Rembulan bersinar, anak-anak t'lah pulang,
Kelap-kelip bintang langit senja terlihat...
Mari kita bermimpi, bersama dengan cahya bintang.
Setelah dilengkapi dengan Foresight dan Light Screen, kamipun mendekati gadis itu.
Gadis itu berhenti bernyanyi setelah mengetahui keberadaan kami. Seketika, raut wajah terkejut terbentuk di wajahnya ketika ia melihat Yuuto.
Yuuto terdiam, wajahnya berubah sedih. “Maaf. Maafkan kami.” Katanya pada gadis itu.
“Ada apa, Hakamori-sensei? Apa sebenarnya hubungan gadis itu dan—“ belum saja aku selesai berbicara, kak Kaoru sudah memotongku.
“Arcadian. Yuuto adalah Arcadian.” Katanya.
“Hah? Kak Yuuto adalah Arcadian?” reaksiku terkejut. Apa ini benar?
“Yuuto adalah salah satu dari para Judge Arcadian yang menghukum manusia ratusan tahun yang lalu.” Ujar Hakamori-sensei. “Namun ia percaya kalau manusia bisa berubah dan merasa menyesal atas perbuatan para Judge dahulu. Para Judge juga sekarang telah menyesali perbuatan mereka dan hanya mengawai Planet dari jauh.” Jelasnya.
“Jadi kak Yuuto ini adalah salah satu Judge dalam legenda?” Tanya Iroha terkejut.
“Kami hanya menceritakan ini pada orang-orang tertentu saja, dan aku juga memerintahkan murid-murid didikanku untuk merahasiakan ini.” Timpal Hakamori-sensei kembali.
Tiba-tiba saja muncul bayangan-bayangan manusia dari tanah, mengepung kami. Kami menyiagakan pokemon kami, tapi Yuuto menghentikan kami.
“Mereka hanyalah arwah orang-orang lain yang tidak tenang karena kejadian ratusan tahun yang lalu. Mereka semua bangkit karena merasakan kehadiran dariku.” Seru Yuuto.
“Aku akan menenangkan arwah mereka, sekarang kalian lindungi aku!” tambah Yuuto lagi.
“Kak Yuuto… Alakazam, Barrier! Light Screen!” seruku. Alakazam kemudian menciptakan dua lapisan perisai yang melindungi kami dan kak Yuuto. Kak Yuuto dan Iroha kemudian mempersiapkan upacara penenangan arwah.
“Mizuho, gunakan Calm Mind padaku!” seru kak Yuuto. Aku akhirnya menyuruh Alakazam menggunakan move itu pada kak Yuuto.
Bayangan-bayangan dari luar mulai mencakar-cakar perisai kami, sementara gadis itu hanya diam berdiri, dan mulai menangis. Entah kenapa ia berbeda. Apa ia tidak marah terhadap kak Yuuto? Apa ia hanya sekedar takut saja?
Kak Yuuto terus mengucapkan kata-kata untuk menenangkan arwah-arwah itu, ia juga tampak mulai menangis. Apakah ia begitu menyesal karena pernah merenggut nyawa orang-orang ini?
Beberapa lama kemudian, bayangan orang-orang yang mencakar perisai kami semakin berkurang, hingga akhirnya hilang sama sekali. Apakah mereka semua telah menjadi tenang?
Keadaan begitu sepi, tidak ada musik yang terdengar. Yang tertinggal hanya gadis itu.
Gadis itu menatap kami, matanya yang oranye penuh air mata.
Kak Yuuto mengatakan sesuatu kepadanya yang tidak dapat aku dengarkan dengan baik, namun perkataan itu berhasil membuat gadis itu tersenyum dan perlahan-lahan mulai menghilang di depan kami.
“Sudah berakhir…” ujar kak Yuuto sambil tersenyum, meskipun matanya masih bengkak karena menangis.
Kami semua menarik napas lega, dan berjalan keluar reruntuhan…
Di depan reruntuhan…
“Nee, kak Yuuto…”
“Hm? Ada apa Mizuho?” jawabnya.
“Mengapa gadis itu… Harus memberikan gambar itu kepadaku? Mengapa tidak ia katakan langsung saja?” tanyaku mengenai gadis itu.
“Hmm… Mungkin karena ia kurang dapat berkomunikasi dengan makhluk yang bukan astral sejati…” ujar kak Yuuto sambil berpikir.
“Atau karena ia malu berbicara langsung kepadamu…” lanjutnya sambil tersenyum jahil padaku.
“A… Apa? Mana mungkin?” jawabku tersendat-sendat.
“Lagipula Yuuto menemui gadis itu hampir tiap hari, kaan~” goda Akane. Argh, jangan Akane… Jangan dia! Cewek itu…
“Mungkin ia masih memperhatikanmu dari atas sekarang!” seru kak Kaoru.
Semua orang selain akupun tertawa terbahak-bahak dan aku hanya bisa memasang wajah malu, sementara langit oranye yang mulai tertutup oleh bintang menaungi kami…
-TAMAT-
(neo)