checkmate
Episode 2: Winner
Akhirnya liburan Tahun Baru tiba. Aku sudah menunggu lama untuk saat ini! Aku bisa bersantai-santai di rumah, tidak takut untuk bangun siang, tidak usah mengerjakan PR dan, dan... Entahlah! Pokoknya sesuatu yang berhubungan dengan malas-malasan.
Oke, tapi kalau begini terus rasanya membosankan juga, ya. Haruki tidak seperti biasanya, belum mengirimiku e-mail satupun. Yah, mungkin karena memang sedang liburan. Pastinya sekolah diliburkan, dan kalau diliburkan itu artinya tidak ada yang bisa diceritakan. Tapi anehnya, kira-kira 2 minggu sebelum liburan pun Haruki belum mengirimiku e-mail. Hmm... mungkin dia sedang sibuk. Aku dengar sekolahnya mengadakan Ujian Semester lebih awal dari sekolah-sekolah lainnya. Ah sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan itu! Sekarang aku harus fokus untuk memanjakan diriku di liburan ini! Aku harus melakukan sesuatu yang menyenangkan, mendebarkan! Marvelous! Oh, atau--
* * *
“Masatoo, air panasnya sudah siap. Cepatlah turun dan mandi!”
“Iya, Ma!”
Akupun bergegas. Sesampainya di kamar mandi, aku langsung berendam di bak. Awalnya, air terasa panas namun lama-kelamaan airnya terasa hangat dan nyaman. Aaah, pulang ke rumah memang ternyata adalah liburan yang terbaik. Tidak ada satu pun yang berubah di rumah. Walapun sudah beberapa bulan aku tidak menghuni kamarku, tidak ada sedikitpun debu terlihat. Mama pasti membersihkannya setiap hari. Walaupun tak tahu kapan aku akan pulang, Mama tetap membersihkannya setiap hari. Sepintas aku berpikir agar tidak usah kembali ke tempat tanteku di Iwafune dan tetap tinggal saja di sini bersama keluarga yang menyayangiku. Tapi, rasanya itu tidak mungkin.
“Masatoo, jangan lama-lama mandinya. Makan malam sudah siap!”
“Iya, Ma.”
* * *
Selesai mandi, aku memakai baju dan langsung menuju ke ruang makan. Tercium aroma masakan Mama yang sudah sangat aku rindukan. Di sana, Papa dan Mama sudah duduk menungguku. Kulihat menu yang disiapkan Mama malam ini. Kare. Yup, kesukaanku. Sebelum makan, kami berdoa dan berterimakasih atas nikmat yang telah diberikan Tuhan pada kami malam ini. Masakan buatan Mama memang paling enak. Papa seperti biasa, selalu menceritakan guyonan khasnya saat kami berkumpul bersama seperti ini. Ah, suasana seperti ini...
“Ngomong-ngomong Masato, kamu sudah punya pacar belum?”
“Hah?”
“Papa ini, Masato kan masih muda. Masa sudah nanya soal cinta?”
“Hahaha! Memangnya kenapa? Masato kan sedang dalam usia dimana dia sudah ingin berpacaran. Haha!”
Pacar? Bicara pacar, aku jadi ingat dengan Kaoru... Sekarang dia sedang apa, ya? Haruki juga belum memberi kabar lagi. Sekarang setelah aku ingat, aku jadi tidak bisa menghilangkan Kaoru dalam pikiranku. Kaoru, oh, Kaoru.
“Masato, Mama punya permintaan untukmu.”
“Eh? Permintaan?”
“Hehehe... Sebenarnya...”
* * *
Antusiasme para ibu-ibu ini tidak menunjukkan penurunan sedikit pun. Mereka saling berdesak-desakan, tidak mau mengalah satu sama lain. Huh, kenapa aku harus melakukan hal seperti ini.
*sebelumnya saat makan malam*
“Eh? Permintaan?”
“Hehehe... Sebenarnya Mama besok rencananya mau ke Mall untuk membeli baju. Ada diskon besar-besaran!”
“...terus?”
“Nah, masalahnya besok Mama harus menemani Papa ke Akita karena pekerjaan.”
“Jadi hubungannya denganku...?”
“Hehehe... tolong ke mall untuk Mama, ya.”
*kembali ke waktu sekarang*
Hiks. Mama, kenapa kau tega lakukan ini pada anakmu?! Aku melihat arlojiku. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 lewat 11 siang. Gawat! Kalau begini aku tidak bisa melihat acara Ramen Rider Baim. Padahal, episode minggu ini adalah klimaksnya. Tidak ada cara lain, aku harus bisa menembus barisan ini!
“Wooraah!!”
Satu demi persatu ibu-ibu aku lewati. Tidak peduli apa status mereka, di tempat ini, kami semua adalah musuh! Sampai pada akhirnya aku berhadapan dengan setumpuk pakaian obralan. Aku mencari-cari pakaian yang telah disebutkan oleh Mama. Terkadang saat aku mau mengambil baju, ternyata tangan ibu-ibu lain juga sedang memegang baju tersebut. Kalau begini mau tidak mau aku harus mengalah. Cari yang lain!
Setelah akhirnya mendapatkan dan membayar baju-baju yang Mama mau, aku melangakah pulang ke rumah. Hmm... kalau dipikir-pikir, aku ini jarang sekali ke Mall. Aku melihat sekelilingku. Ramai sekali. Aku tidak menyangka Mall bisa seramai ini. Mungkin memang karena sedang masa liburan. Banyak anak kecil datang bersama orang tua mereka. Ada juga para remaja dan lansia di sini. Kebanyakan dari para remaja datang dengan pasangan mereka masing-masing. Ah, kalau begini aku jadi ingat Kaoru lagi. Tapi sudahlah, yang terpenting sekarang adalah pulang! ...atau itulah yang aku mau lakukan. Namun, saat berjalan menuju ke pintu keluar, aku melihat seseorang yang sepertinya aku sangat kenal. Orang itu sedang berdiri di depan stall makanan. Rambutnya acak-acakan, matanya sipit, dan wajahnya bulat. Walaupun dari jauh, aku bisa mengenali siapa orang itu.
“Oi, Haruki!”
Aku mencoba memanggil Haruki, tapi kelihatannya dia tidak mendengarku. Saat aku hendak mencoba berlari ke tempat Haruki, aku melihat orang tersebut. Seseorang yang telah mengisi hatiku selama setahun ini. Seseorang yang hampir selalu hadir di pikiranku. Dia berjalan mendekati Haruki lalu berbicara sebentar. Tak lama kemudian, mereka melakukan hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Hal yang tidak bisa aku lupakan sampai sekarang. Mereka bergandengan tangan, dan pergi.
“Kaoru...”
* * *
Rencana untuk pulang aku batalkan. Diam-diam aku mengikuti Haruki dan Kaoru yang masih saja bergandengan tangan. Banyak sekali pertanyaan dalam pikiranku sekarang ini. Apa yang terjadi? Untuk apa mereka ke sini? Kenapa mereka bergandengan tangan? Apa itu benar-benar Kaoru? Banyak sekali. Namun semua itu akan terjawab sudah jika aku bisa menanyakannya langsung pada Haruki. Tapi sekarang saatnya belum tepat. Aku harus menunggu dulu sampai Kaoru berpisah dengan Haruki.
Mereka berhenti berjalan, rupanya mereka hendak membeli baju. Padahal, tadi aku baru saja mampir ke toko ini. Kaoru terlihat antusias. Dia menarik-narik Haruki dan kelihatannya sedang bertanya baju apa yang cocok untuknya. Tch, aku semakin tidak bisa melihat pemandangan ini. Setelah memberikan baju pilihan Haruki, Kaoru pergi ke ruang ganti. Baiklah, sekarang kesempatanku! Aku mulai berjalan mendekati Haruki.
“Haruki.”
“Oh? Hei, Masato! Apa yang kau lakukan di sini? Yaampun, sudah lama aku tidak melihatmu! Kau tahu—“
“Apa maksudmu dengan semua ini?”
“M-maksudmu apa?”
“Aku yang tanya, apa maksudmu bergandengan tangan dengan Kaoru seperti itu?!”
Tanpa aku sadari, volume bicaraku terlalu keras. Orang-orang di sekeliling langsung melihat ke arah kami. Haruki terlihat agak panik setelah tahu semua mata tertuju padanya. Namun setelah beberapa saat, dia melihat ke arahku dan tersenyum.
“Baiklah. Tidak ada gunanya lagi merahasiakannya padamu, yah.”
Dia kemudian berbalik dan berjalan. Jari tangannya mengisyaratkan padaku untuk mengikutinya, kelihatannya dia mau berbicara denganku di tempat yang sepi. Setelah sampai di luar, Haruki berhenti berjalan. Dia berbalik, menghadapku kembali.
“... Empat bulan lalu, di hari pertama masuk SMA”, Haruki mulai bercerita, “dia menyapaku dengan senyum yang lebar. ‘Selamat pagi’, itulah kalimat pertama yang ia katakan padaku di SMA. Dia bilang bahwa tidak banyak teman SMPnya yang bersekolah di sini, hanya aku dan satu perempuan yang dia kenal di sini. Saat kami tahu kami ternyata sekelas, dia terlihat sangat senang. ‘Syukurlah, paling tidak ada satu orang yang aku kenal’, ucapnya waktu itu. Kami mulai membicarakan banyak hal: bagaimana kabar teman-teman SMP kami, selanjutnya mau jalan ke mana, dan banyak lagi. Pada saat itu, ada suatu perasaan aneh yang aku rasakan. Namun aku teringat akan janji kita. Ya, janji untuk mengirim e-mail tentang apa saja yang terjadi di sekolah. Aku ingin menepati janji kita dan mencoba untuk menghilangkan perasaan aneh ini.”
Dia menghentikan ceritanya sejenak dan duduk di bangku. Haruki lalu melanjutkan ceritanya kembali, “Hari demi hari, aku memperhatikannya. Canda tawanya... Air matanya... Semuanya. Aku semakin dekat dengannya. Tiap hari, dia mengucapkan selamat pagi padaku, mengajakku mengerjakan tugas bersama dan terkadang mengajakku ke Mall seperti ini. Perasaan aneh yang dulu ingin aku hilangkan akhirnya muncul kembali. Namun, kali ini lebih besar. Sangat besar. Aku tidak bisa lagi membendungnya. Aku telah mencintainya. Aku telah mencintai Kaoru.”
Aku hampir tidak bisa menahan emosiku saat mendengar cerita Haruki. Dia tidak lagi menatapku, melainkan fokus melihat ke langit, seakan-akan ada sesuatu menarik di sana.
“... Masato, aku merasa aku tahu perasaanmu sekarang. Bukan karena parasnya, tapi karena kebaikan hatinya. Aku juga tidak akan membohongi diriku lagi. Aku mencintai Kaoru dan perasaan itu tidak akan aku sangkal. Aku mau terus bersamanya. Maaf beberapa waktu ini aku tidak mengirimu e-mail lagi. Kau sekarang sudah tahu alasannya. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tapi—”
BUGH!
Sebuah tinju melayang ke pipi kiri Haruki. Darah menetes keluar dari mulutnya. Aku telah memukulnya.
“... Jangan berani perlihatkan mukamu di hadapanku lagi!”
Setelah mengatakan itu, aku pergi meninggalkan Haruki. Aku tidak peduli lagi apa yang terjadi kepadanya. Bagiku, dia sudah bukan temanku lagi.
* * *
Sudah dua hari sejak kejadian di Mall tersebut. Semenjak hari itu, aku mulai mengurung diri di kamarku. Tentu Mama dan Papaku khawatir tapi aku bilang kepada mereka bahwa aku sedang ingin sendiri. Hatiku masih pedih. Bayangkan saja: temanku sendiri menusukku dari belakang. Sejak hari itu juga, Haruki banyak mengirimiku e-mail, namun tidak satupun aku baca. Tch, saat seperti ini aja baru mengirim e-mail lagi. Teman macam apa kau, Haruki?!
“Masato, bisa keluar sebentar?”, terdengar suara Mama dari luar kamar.
“Ma, aku bilang aku sedang ingin sendiri.”
“Oh, ya sudah. Berarti, semua barang-barang bekasmu ini Mama buang saja, ya. Soalnya kamu gak mau pilih-pilih dulu.”
“Eeh, tunggu Ma!”
Mendengar ucapan Mama tadi, aku langsung membuka pintu kamarku yang tadinya aku kunci. Benar saja, Mama sedang membawa kardus berisi barang-barang bekasku!
“Aduh, Ma. Kok dibuang sih? ‘Kan sayang.”
“ Kamu sendiri yang bilang saat mau ke Iwafune waktu itu. Barang-barangmu yang tidak terpakai katamu buang saja. Tapi ‘kan Mama gak tahu mana aja yang menurutmu gak terpakai. Jadi selagi kau di sini, Mama minta kamu pilih-pilih dulu.”
...Mama ini. Padahal ‘kan aku sedang gak mood. Tapi, yah, daripada dibuang begitu saja, ada baiknya aku pilah-pilah dulu. Aku membawa kardus yang dibawa Mama tadi ke dalam kamar. Aku ambil satu persatu barang yang ada di dalamnya. Tas, dompet, buku tulis, aah banyak sekali.
“Tidak perlu... Perlu... Perlu... Tidak perlu... Oh! Ini!”
Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Ini cartridge Pokemon Diamond-ku! Oh, ya ampun. Aku sangat rindu dengan game ini. Aku abaikan tumpukan barang-barang bekas tadi dan langsung mengambil 3DS XL-ku.
“Yay! Masih bisa dimainkan!” seruku bersemangat.
Rasanya sudah seperti 10 tahun aku tidak memainkan game ini. Musik intro-nya masih sangat terdengar familier di telingaku. Aku langsung memilih Continue dari Save terakhir. Fitur khusus dari Pokemon Diamond adalah kita bisa melihat hal apa yang kita lakukan terakhir kali dari Journal yang akan terbuka khusus saat kita memainkan game itu lagi. Aku menyaksikan apa yang kulakukan terakhir kali di Journal.
Sunday, March 3 2013
10.31 - Battle with Haruki
Ah, aku ingat sekarang. Waktu itu, kami sedang melakukan battle namun, karena saat itu kami mendapat berita bahwa pamanku terkena kecelakaan, keluargaku langsung cepat-cepat pergi menjenguk. Hari itu juga menjadi hari terakhirku bermain game Pokemon karena beberapa hari kemudian aku disibukkan ujian. Kalau dipikir-pikir lagi, aku dan Haruki dulu memang sering melakukan battle seperti ini. Walaupun dia sering kalah, dia tidak pernah menyerah dan terus menantangku.
“Heh, dasar bodoh.”
Aku mencoba mencari barang-barang yang sering aku mainkan dengan Haruki dulu, dan ternyata ada banyak sekali. Yoyo, mobil mainan, masih banyak lagi. Kenanganku bermain bersama dengan Haruki mulai terbayang di kalbu. Di saat aku tidak punya teman dan yang lain mengucilkanku, dia mau bermain denganku dengan senang hati. Kadang kami berlari-lari dan bermain di halaman rumah Haruki yang luas. Saat kami lelah bermain, ibu Haruki menyediakan jus dan camilan untuk kami. Dia juga berani melindungiku saat para kakak kelas menjahiliku. Dia... adalah teman terbaik yang aku miliki, dan aku malah memukulnya pada hari itu.
"...Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Harusnya aku senang Kaoru bisa punya pasangan seperti Haruki. Haruki pasti akan melindungi dan membahagiakan Kaoru, tidak seperti aku...”
Aku tidak mau menodai pertemanan ini lebih banyak. Aku akan meminta maaf pada Haruki! Kalau perlu, aku akan bersujud di hadapannya sampai dia mau memaafkanku. Semua karena... Dia adalah temanku!
* * *
“Aku pergi dulu!”
“Selamat jalan!”
Setelah mengucapkan salam kepada Mama, aku berangkat menuju apartemen Haruki. Sejak mulai SMP kelas 3, Haruki memang bilang padaku kalau dia sudah pindah dari rumahnya dan tinggal di apartemen. Katanya, dia mau belajar mandiri. Walaupun dia sudah pindah lagi ke apartemennya di Yokohama saat SMA, sepertinya dia balik ke apartemennya yang lama karena kemarin dia pergi ke Mall dekat tempat itu. Aku sudah tidak sabar ingin mengatakan maaf padanya. Aku juga membawa 3DS dan cartridge Pokemon Diamond-ku. Aku ingin battle waktu itu untuk diselesaikan. Aku pasti akan menang!
Akupun sampai di depan apartemen Haruki. Ini adalah kali pertamaku kesini. Bangunannya terlihat sudah berumur. Banyak lumut dan karat bertebaran dimana-mana. Kamar Haruki ada di lantai dua sehingga aku menaiki tangga dan menuju kamar paling pojok. Baiklah, sekarang yang harus aku lakukan adalah mengetuk pintu ini. Apapun yang terjadi, aku harus meminta maaf pada Haruki.
Tok Tok...
“Permisi, Haruki? Ini aku, Masato.”
Tidak ada jawaban. Aku mencoba mengetuk sekali lagi. Masih tidak ada jawaban. Hmm... apa dia sedang pergi? Ah, tapi kan dia jarang pergi. Yah, kecuali untuk pergi menemani Kaoru seperti kemarin. Hmm... lebih baik aku e-mail dia dulu. Awalnya aku mau surprise mengatakan maaf padanya, tapi kalau begini ya bagaimana lagi?
Saat aku menuruni tangga dan membuka ponselku, aku melihat seorang perempuan. Dia, perempuan yang sangat aku kagumi sekaligus pacar sahabat terbaikku, Kaoru.
“Kaoru...? Sedang apa kau di sini?” tanyaku heran.
Kaoru tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia malah merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah DS Lite. Dia menghidupkan DS yang ada di tangannya dan menunjukkannya padaku.
“Battle,” ucap Kaoru.
Hm? Battle Pokemon? Aku tidak mengerti. Apa maksudnya mengajak battle dengan di tempat ini? Aku memang membawa 3DS, dan game yang dimainkan Kaoru adalah Pokemon Pearl, berarti kami memang bisa melakukan battle. Tapi tunggu, untuk apa kita perlu battle di sini?
“Ah, Kaoru, sebenarnya—“
“Battle,” Kaoru terus bersikeras untuk mengajak battle denganku.
Ah, ya sudah lah. Lagipula hanya battle, paling lama lima menit sudah selesai. Aku mengeluarkan 3Dsku dan mulai memainkan Pokemon Diamond yang aku bawa dari rumah. Aku tidak memilih team terlebih dahulu. Terlalu lama jika harus memilih.
“Single Battle, ya.” tuturku.
Pertarungan dimulai. Untuk sebuah alasan yang tak jelas, Kaoru menggunakan cartridge milik Haruki. Padahal aku mau battle dengan Haruki, tapi ya sudah lah.
Aku langsung mengeluarkan Arcanine milikku, sementara Kaoru mengeluarkan Victreebel. Tentu dengan mudah Arcanineku dapat mengalahkannya hanya dengan satu Flamethrower. Kemudian dia mengeluarkan Weavile. Sekali lagi dapat dikalahkan dengan mudah oleh Arcanine. Tropius, Scizor, dan Froslass. Semua dapat aku kalahkan hanya dengan Arcanine. Sampai pada akhirnya Kaoru mengeluarkan Ampharos. Saat mengeluarkan Pokemon terakhirnya itu, aku melirik wajah Kaoru. Dia... menangis? Kenapa? Tapi saat dia menangis, ternyata Kaoru cantik juga, ya... Astaga! Berpikir apa aku ini?! Dia ini kan sekarang pacar sahabatku! Aah, aku memang bodoh!
Tanpa bertanya kenapa ia menangis, aku malah melanjutkan pertarungan. Berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, Ampharos tidak bisa aku jatuhkan hanya dengan satu kali Flamethrower. Ampharos tentu balik menyerang menggunakan Thunderbolt. Arcanine hampir saja kalah. Critical hit. Aku harus mengalahkan Ampharos dengan satu kali serangan kalau aku mau menang dengan skor 6-0. Aku memilih Fire Blast, jurus yang lebih kuat dari Flamethrower, berharap bisa mengalahkan Ampharos dengan satu kali serangan. Namun sayangnya Fire Blast meleset dan Ampharos berhasil menjatuhkan Arcanine dengan Thunderbolt. Baru saja aku mau mengeluarkan Pokemon keduaku, Kaoru malah mematikan DS Litenya.
“Hah? Kenapa?”
Kaoru tidak menjawab. Air mata masih mengalir deras dari matanya. Mencoba menahan tangisnya, ia merogoh tasnya kembali, namun kini yang dikeluarkannya adalah sebuah surat. Surat itu terlihat seperti sudah tertekuk beratus-ratus kali, sangat lusuh. Dia memberikan surat itu kepadaku. Akupun membuka surat itu, dan mencoba membacanya.
____________________________________________________________________________________________
To: Masato
From: Haruki
Hai, Masato jelek. Awalnya aku mau mengirim surat ini lewat e-mail. Tapi berhubung beberapa hari ini kau tidak membalas e-mailku, ya aku tulis saja di sini. Aku harap kau mau membaca surat ini.
Aku minta maaf kalau aku telah menyakiti perasaanmu. Aku tahu aku telah salah merebut seseorang yang kau cintai. Tapi seperti yang aku katakan dulu, aku tidak mau membohongi perasaanku. Aku mencintai Kaoru. Kalau kau tidak mau memaafkanku, aku rela. Aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisimu.
Aku juga mau memberitahukanmu kalau setelah ini aku akan pergi ke Amerika. Aku mendapat kesempatan untuk melakukan pertukaran pelajaran selama satu tahun, jadi mungkin kita tidak akan bertemu lagi dalam kurun waktu yang lama.
Aku mau berterima-kasih atas delapan tahun yang menyenangkan ini. Aku tak akan melupakan pertemuan kita pas musim panas tahun itu. Anak bodoh macam apa yang menangis karena badannya dikerumuni semut? Haha, bodoh sekali kau!
Bermain dan melakukan hal gila denganmu sangat menyenangkan. Oh iya, aku juga masih ingat dengan battle terakhir kita. Aku yakin kalau Ampharosku pasti bisa mengalahkan Arcaninemu! Akulah pemenangnya!
Sekian dulu suratku ini, Masato. Sampai bertemu di lain waktu. Sekali lagi, terimakasih.
____________________________________________________________________________________________
Amerika, ya? Pantas saja kalau dia tidak ada di rumah. Satu tahun... Cukup lama. Tapi aku masih bisa mengatakan maaf dengan e-mail. Yap, itu sudah cukup.
“Aah, Amerika, ya? Jauh sekali. Dasar si Haruki. Gak bilang-bilang dulu. Jadi, kapan kira-kira dia akan—“
“Pesawat yang ditumpangi Masato tergelincir di bandara pagi ini,” kata Kaoru memotong perkataanku.
“He...?!”
“Pesawatnya terbakar. Seluruh penumpangnya dinyatakan tewas, termasuk Haruki.”
“Apa maksudmu, Kaoru...?”
“Sebelum naik pesawat, dia meneleponku. Katanya, jika sesuatu terjadi padanya, aku harus mengambil surat dan DS Lite yang ada di meja belajarnya dan menemuimu. Dia sudah tahu ajal akan menjemputnya.”
“T-tunggu! K-kau bercanda kan? Iya kan, Kaoru?!”
Kesedihan Kaoru terlihat semakin dalam, “Haruki... tidak akan pernah pulang". A-apa ini? Apa maksud semua ini? Haruki tidak pernah pulang? Jadi... Haruki sudah meninggal?! Tidak... Aku tidak mau mempercayainya!!!
“... Dia mencoba meminta maaf kepadamu, bahkan sampai akhir hidupnya! Tapi kau malah mengacuhkannya! Kau teman terburuk yang pernah ada, Masato!” Kaoru tidak bisa menahan emosinya dan kembali menangis.
Ya, aku memang teman terburuk. Aku yang paling buruk! Tanpa aku sadari air mataku mulai mengalir, aku ikut menangis. Haruki, teman terbaik yang pernah aku miliki sekarang telah pergi untuk selamanya. Bahkan aku tidak sempat meminta maaf kepadanya. Aku membaca kembali surat terakhir yang ditulis oleh Haruki.
‘Aku yakin kalau Ampharosku pasti bisa mengalahkan Arcaninemu! Akulah pemenangnya!’
“Haha... Ya, Haruki. Kau memang benar. Kau adalah pemenangnya. Aku tidak sabar bertarung lagi denganmu di sana...”
-|Checkmate|-
Oke, tapi kalau begini terus rasanya membosankan juga, ya. Haruki tidak seperti biasanya, belum mengirimiku e-mail satupun. Yah, mungkin karena memang sedang liburan. Pastinya sekolah diliburkan, dan kalau diliburkan itu artinya tidak ada yang bisa diceritakan. Tapi anehnya, kira-kira 2 minggu sebelum liburan pun Haruki belum mengirimiku e-mail. Hmm... mungkin dia sedang sibuk. Aku dengar sekolahnya mengadakan Ujian Semester lebih awal dari sekolah-sekolah lainnya. Ah sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan itu! Sekarang aku harus fokus untuk memanjakan diriku di liburan ini! Aku harus melakukan sesuatu yang menyenangkan, mendebarkan! Marvelous! Oh, atau--
* * *
“Masatoo, air panasnya sudah siap. Cepatlah turun dan mandi!”
“Iya, Ma!”
Akupun bergegas. Sesampainya di kamar mandi, aku langsung berendam di bak. Awalnya, air terasa panas namun lama-kelamaan airnya terasa hangat dan nyaman. Aaah, pulang ke rumah memang ternyata adalah liburan yang terbaik. Tidak ada satu pun yang berubah di rumah. Walapun sudah beberapa bulan aku tidak menghuni kamarku, tidak ada sedikitpun debu terlihat. Mama pasti membersihkannya setiap hari. Walaupun tak tahu kapan aku akan pulang, Mama tetap membersihkannya setiap hari. Sepintas aku berpikir agar tidak usah kembali ke tempat tanteku di Iwafune dan tetap tinggal saja di sini bersama keluarga yang menyayangiku. Tapi, rasanya itu tidak mungkin.
“Masatoo, jangan lama-lama mandinya. Makan malam sudah siap!”
“Iya, Ma.”
* * *
Selesai mandi, aku memakai baju dan langsung menuju ke ruang makan. Tercium aroma masakan Mama yang sudah sangat aku rindukan. Di sana, Papa dan Mama sudah duduk menungguku. Kulihat menu yang disiapkan Mama malam ini. Kare. Yup, kesukaanku. Sebelum makan, kami berdoa dan berterimakasih atas nikmat yang telah diberikan Tuhan pada kami malam ini. Masakan buatan Mama memang paling enak. Papa seperti biasa, selalu menceritakan guyonan khasnya saat kami berkumpul bersama seperti ini. Ah, suasana seperti ini...
“Ngomong-ngomong Masato, kamu sudah punya pacar belum?”
“Hah?”
“Papa ini, Masato kan masih muda. Masa sudah nanya soal cinta?”
“Hahaha! Memangnya kenapa? Masato kan sedang dalam usia dimana dia sudah ingin berpacaran. Haha!”
Pacar? Bicara pacar, aku jadi ingat dengan Kaoru... Sekarang dia sedang apa, ya? Haruki juga belum memberi kabar lagi. Sekarang setelah aku ingat, aku jadi tidak bisa menghilangkan Kaoru dalam pikiranku. Kaoru, oh, Kaoru.
“Masato, Mama punya permintaan untukmu.”
“Eh? Permintaan?”
“Hehehe... Sebenarnya...”
* * *
Antusiasme para ibu-ibu ini tidak menunjukkan penurunan sedikit pun. Mereka saling berdesak-desakan, tidak mau mengalah satu sama lain. Huh, kenapa aku harus melakukan hal seperti ini.
*sebelumnya saat makan malam*
“Eh? Permintaan?”
“Hehehe... Sebenarnya Mama besok rencananya mau ke Mall untuk membeli baju. Ada diskon besar-besaran!”
“...terus?”
“Nah, masalahnya besok Mama harus menemani Papa ke Akita karena pekerjaan.”
“Jadi hubungannya denganku...?”
“Hehehe... tolong ke mall untuk Mama, ya.”
*kembali ke waktu sekarang*
Hiks. Mama, kenapa kau tega lakukan ini pada anakmu?! Aku melihat arlojiku. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 lewat 11 siang. Gawat! Kalau begini aku tidak bisa melihat acara Ramen Rider Baim. Padahal, episode minggu ini adalah klimaksnya. Tidak ada cara lain, aku harus bisa menembus barisan ini!
“Wooraah!!”
Satu demi persatu ibu-ibu aku lewati. Tidak peduli apa status mereka, di tempat ini, kami semua adalah musuh! Sampai pada akhirnya aku berhadapan dengan setumpuk pakaian obralan. Aku mencari-cari pakaian yang telah disebutkan oleh Mama. Terkadang saat aku mau mengambil baju, ternyata tangan ibu-ibu lain juga sedang memegang baju tersebut. Kalau begini mau tidak mau aku harus mengalah. Cari yang lain!
Setelah akhirnya mendapatkan dan membayar baju-baju yang Mama mau, aku melangakah pulang ke rumah. Hmm... kalau dipikir-pikir, aku ini jarang sekali ke Mall. Aku melihat sekelilingku. Ramai sekali. Aku tidak menyangka Mall bisa seramai ini. Mungkin memang karena sedang masa liburan. Banyak anak kecil datang bersama orang tua mereka. Ada juga para remaja dan lansia di sini. Kebanyakan dari para remaja datang dengan pasangan mereka masing-masing. Ah, kalau begini aku jadi ingat Kaoru lagi. Tapi sudahlah, yang terpenting sekarang adalah pulang! ...atau itulah yang aku mau lakukan. Namun, saat berjalan menuju ke pintu keluar, aku melihat seseorang yang sepertinya aku sangat kenal. Orang itu sedang berdiri di depan stall makanan. Rambutnya acak-acakan, matanya sipit, dan wajahnya bulat. Walaupun dari jauh, aku bisa mengenali siapa orang itu.
“Oi, Haruki!”
Aku mencoba memanggil Haruki, tapi kelihatannya dia tidak mendengarku. Saat aku hendak mencoba berlari ke tempat Haruki, aku melihat orang tersebut. Seseorang yang telah mengisi hatiku selama setahun ini. Seseorang yang hampir selalu hadir di pikiranku. Dia berjalan mendekati Haruki lalu berbicara sebentar. Tak lama kemudian, mereka melakukan hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Hal yang tidak bisa aku lupakan sampai sekarang. Mereka bergandengan tangan, dan pergi.
“Kaoru...”
* * *
Rencana untuk pulang aku batalkan. Diam-diam aku mengikuti Haruki dan Kaoru yang masih saja bergandengan tangan. Banyak sekali pertanyaan dalam pikiranku sekarang ini. Apa yang terjadi? Untuk apa mereka ke sini? Kenapa mereka bergandengan tangan? Apa itu benar-benar Kaoru? Banyak sekali. Namun semua itu akan terjawab sudah jika aku bisa menanyakannya langsung pada Haruki. Tapi sekarang saatnya belum tepat. Aku harus menunggu dulu sampai Kaoru berpisah dengan Haruki.
Mereka berhenti berjalan, rupanya mereka hendak membeli baju. Padahal, tadi aku baru saja mampir ke toko ini. Kaoru terlihat antusias. Dia menarik-narik Haruki dan kelihatannya sedang bertanya baju apa yang cocok untuknya. Tch, aku semakin tidak bisa melihat pemandangan ini. Setelah memberikan baju pilihan Haruki, Kaoru pergi ke ruang ganti. Baiklah, sekarang kesempatanku! Aku mulai berjalan mendekati Haruki.
“Haruki.”
“Oh? Hei, Masato! Apa yang kau lakukan di sini? Yaampun, sudah lama aku tidak melihatmu! Kau tahu—“
“Apa maksudmu dengan semua ini?”
“M-maksudmu apa?”
“Aku yang tanya, apa maksudmu bergandengan tangan dengan Kaoru seperti itu?!”
Tanpa aku sadari, volume bicaraku terlalu keras. Orang-orang di sekeliling langsung melihat ke arah kami. Haruki terlihat agak panik setelah tahu semua mata tertuju padanya. Namun setelah beberapa saat, dia melihat ke arahku dan tersenyum.
“Baiklah. Tidak ada gunanya lagi merahasiakannya padamu, yah.”
Dia kemudian berbalik dan berjalan. Jari tangannya mengisyaratkan padaku untuk mengikutinya, kelihatannya dia mau berbicara denganku di tempat yang sepi. Setelah sampai di luar, Haruki berhenti berjalan. Dia berbalik, menghadapku kembali.
“... Empat bulan lalu, di hari pertama masuk SMA”, Haruki mulai bercerita, “dia menyapaku dengan senyum yang lebar. ‘Selamat pagi’, itulah kalimat pertama yang ia katakan padaku di SMA. Dia bilang bahwa tidak banyak teman SMPnya yang bersekolah di sini, hanya aku dan satu perempuan yang dia kenal di sini. Saat kami tahu kami ternyata sekelas, dia terlihat sangat senang. ‘Syukurlah, paling tidak ada satu orang yang aku kenal’, ucapnya waktu itu. Kami mulai membicarakan banyak hal: bagaimana kabar teman-teman SMP kami, selanjutnya mau jalan ke mana, dan banyak lagi. Pada saat itu, ada suatu perasaan aneh yang aku rasakan. Namun aku teringat akan janji kita. Ya, janji untuk mengirim e-mail tentang apa saja yang terjadi di sekolah. Aku ingin menepati janji kita dan mencoba untuk menghilangkan perasaan aneh ini.”
Dia menghentikan ceritanya sejenak dan duduk di bangku. Haruki lalu melanjutkan ceritanya kembali, “Hari demi hari, aku memperhatikannya. Canda tawanya... Air matanya... Semuanya. Aku semakin dekat dengannya. Tiap hari, dia mengucapkan selamat pagi padaku, mengajakku mengerjakan tugas bersama dan terkadang mengajakku ke Mall seperti ini. Perasaan aneh yang dulu ingin aku hilangkan akhirnya muncul kembali. Namun, kali ini lebih besar. Sangat besar. Aku tidak bisa lagi membendungnya. Aku telah mencintainya. Aku telah mencintai Kaoru.”
Aku hampir tidak bisa menahan emosiku saat mendengar cerita Haruki. Dia tidak lagi menatapku, melainkan fokus melihat ke langit, seakan-akan ada sesuatu menarik di sana.
“... Masato, aku merasa aku tahu perasaanmu sekarang. Bukan karena parasnya, tapi karena kebaikan hatinya. Aku juga tidak akan membohongi diriku lagi. Aku mencintai Kaoru dan perasaan itu tidak akan aku sangkal. Aku mau terus bersamanya. Maaf beberapa waktu ini aku tidak mengirimu e-mail lagi. Kau sekarang sudah tahu alasannya. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Tapi—”
BUGH!
Sebuah tinju melayang ke pipi kiri Haruki. Darah menetes keluar dari mulutnya. Aku telah memukulnya.
“... Jangan berani perlihatkan mukamu di hadapanku lagi!”
Setelah mengatakan itu, aku pergi meninggalkan Haruki. Aku tidak peduli lagi apa yang terjadi kepadanya. Bagiku, dia sudah bukan temanku lagi.
* * *
Sudah dua hari sejak kejadian di Mall tersebut. Semenjak hari itu, aku mulai mengurung diri di kamarku. Tentu Mama dan Papaku khawatir tapi aku bilang kepada mereka bahwa aku sedang ingin sendiri. Hatiku masih pedih. Bayangkan saja: temanku sendiri menusukku dari belakang. Sejak hari itu juga, Haruki banyak mengirimiku e-mail, namun tidak satupun aku baca. Tch, saat seperti ini aja baru mengirim e-mail lagi. Teman macam apa kau, Haruki?!
“Masato, bisa keluar sebentar?”, terdengar suara Mama dari luar kamar.
“Ma, aku bilang aku sedang ingin sendiri.”
“Oh, ya sudah. Berarti, semua barang-barang bekasmu ini Mama buang saja, ya. Soalnya kamu gak mau pilih-pilih dulu.”
“Eeh, tunggu Ma!”
Mendengar ucapan Mama tadi, aku langsung membuka pintu kamarku yang tadinya aku kunci. Benar saja, Mama sedang membawa kardus berisi barang-barang bekasku!
“Aduh, Ma. Kok dibuang sih? ‘Kan sayang.”
“ Kamu sendiri yang bilang saat mau ke Iwafune waktu itu. Barang-barangmu yang tidak terpakai katamu buang saja. Tapi ‘kan Mama gak tahu mana aja yang menurutmu gak terpakai. Jadi selagi kau di sini, Mama minta kamu pilih-pilih dulu.”
...Mama ini. Padahal ‘kan aku sedang gak mood. Tapi, yah, daripada dibuang begitu saja, ada baiknya aku pilah-pilah dulu. Aku membawa kardus yang dibawa Mama tadi ke dalam kamar. Aku ambil satu persatu barang yang ada di dalamnya. Tas, dompet, buku tulis, aah banyak sekali.
“Tidak perlu... Perlu... Perlu... Tidak perlu... Oh! Ini!”
Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat. Ini cartridge Pokemon Diamond-ku! Oh, ya ampun. Aku sangat rindu dengan game ini. Aku abaikan tumpukan barang-barang bekas tadi dan langsung mengambil 3DS XL-ku.
“Yay! Masih bisa dimainkan!” seruku bersemangat.
Rasanya sudah seperti 10 tahun aku tidak memainkan game ini. Musik intro-nya masih sangat terdengar familier di telingaku. Aku langsung memilih Continue dari Save terakhir. Fitur khusus dari Pokemon Diamond adalah kita bisa melihat hal apa yang kita lakukan terakhir kali dari Journal yang akan terbuka khusus saat kita memainkan game itu lagi. Aku menyaksikan apa yang kulakukan terakhir kali di Journal.
Sunday, March 3 2013
10.31 - Battle with Haruki
Ah, aku ingat sekarang. Waktu itu, kami sedang melakukan battle namun, karena saat itu kami mendapat berita bahwa pamanku terkena kecelakaan, keluargaku langsung cepat-cepat pergi menjenguk. Hari itu juga menjadi hari terakhirku bermain game Pokemon karena beberapa hari kemudian aku disibukkan ujian. Kalau dipikir-pikir lagi, aku dan Haruki dulu memang sering melakukan battle seperti ini. Walaupun dia sering kalah, dia tidak pernah menyerah dan terus menantangku.
“Heh, dasar bodoh.”
Aku mencoba mencari barang-barang yang sering aku mainkan dengan Haruki dulu, dan ternyata ada banyak sekali. Yoyo, mobil mainan, masih banyak lagi. Kenanganku bermain bersama dengan Haruki mulai terbayang di kalbu. Di saat aku tidak punya teman dan yang lain mengucilkanku, dia mau bermain denganku dengan senang hati. Kadang kami berlari-lari dan bermain di halaman rumah Haruki yang luas. Saat kami lelah bermain, ibu Haruki menyediakan jus dan camilan untuk kami. Dia juga berani melindungiku saat para kakak kelas menjahiliku. Dia... adalah teman terbaik yang aku miliki, dan aku malah memukulnya pada hari itu.
"...Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Harusnya aku senang Kaoru bisa punya pasangan seperti Haruki. Haruki pasti akan melindungi dan membahagiakan Kaoru, tidak seperti aku...”
Aku tidak mau menodai pertemanan ini lebih banyak. Aku akan meminta maaf pada Haruki! Kalau perlu, aku akan bersujud di hadapannya sampai dia mau memaafkanku. Semua karena... Dia adalah temanku!
* * *
“Aku pergi dulu!”
“Selamat jalan!”
Setelah mengucapkan salam kepada Mama, aku berangkat menuju apartemen Haruki. Sejak mulai SMP kelas 3, Haruki memang bilang padaku kalau dia sudah pindah dari rumahnya dan tinggal di apartemen. Katanya, dia mau belajar mandiri. Walaupun dia sudah pindah lagi ke apartemennya di Yokohama saat SMA, sepertinya dia balik ke apartemennya yang lama karena kemarin dia pergi ke Mall dekat tempat itu. Aku sudah tidak sabar ingin mengatakan maaf padanya. Aku juga membawa 3DS dan cartridge Pokemon Diamond-ku. Aku ingin battle waktu itu untuk diselesaikan. Aku pasti akan menang!
Akupun sampai di depan apartemen Haruki. Ini adalah kali pertamaku kesini. Bangunannya terlihat sudah berumur. Banyak lumut dan karat bertebaran dimana-mana. Kamar Haruki ada di lantai dua sehingga aku menaiki tangga dan menuju kamar paling pojok. Baiklah, sekarang yang harus aku lakukan adalah mengetuk pintu ini. Apapun yang terjadi, aku harus meminta maaf pada Haruki.
Tok Tok...
“Permisi, Haruki? Ini aku, Masato.”
Tidak ada jawaban. Aku mencoba mengetuk sekali lagi. Masih tidak ada jawaban. Hmm... apa dia sedang pergi? Ah, tapi kan dia jarang pergi. Yah, kecuali untuk pergi menemani Kaoru seperti kemarin. Hmm... lebih baik aku e-mail dia dulu. Awalnya aku mau surprise mengatakan maaf padanya, tapi kalau begini ya bagaimana lagi?
Saat aku menuruni tangga dan membuka ponselku, aku melihat seorang perempuan. Dia, perempuan yang sangat aku kagumi sekaligus pacar sahabat terbaikku, Kaoru.
“Kaoru...? Sedang apa kau di sini?” tanyaku heran.
Kaoru tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia malah merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah DS Lite. Dia menghidupkan DS yang ada di tangannya dan menunjukkannya padaku.
“Battle,” ucap Kaoru.
Hm? Battle Pokemon? Aku tidak mengerti. Apa maksudnya mengajak battle dengan di tempat ini? Aku memang membawa 3DS, dan game yang dimainkan Kaoru adalah Pokemon Pearl, berarti kami memang bisa melakukan battle. Tapi tunggu, untuk apa kita perlu battle di sini?
“Ah, Kaoru, sebenarnya—“
“Battle,” Kaoru terus bersikeras untuk mengajak battle denganku.
Ah, ya sudah lah. Lagipula hanya battle, paling lama lima menit sudah selesai. Aku mengeluarkan 3Dsku dan mulai memainkan Pokemon Diamond yang aku bawa dari rumah. Aku tidak memilih team terlebih dahulu. Terlalu lama jika harus memilih.
“Single Battle, ya.” tuturku.
Pertarungan dimulai. Untuk sebuah alasan yang tak jelas, Kaoru menggunakan cartridge milik Haruki. Padahal aku mau battle dengan Haruki, tapi ya sudah lah.
Aku langsung mengeluarkan Arcanine milikku, sementara Kaoru mengeluarkan Victreebel. Tentu dengan mudah Arcanineku dapat mengalahkannya hanya dengan satu Flamethrower. Kemudian dia mengeluarkan Weavile. Sekali lagi dapat dikalahkan dengan mudah oleh Arcanine. Tropius, Scizor, dan Froslass. Semua dapat aku kalahkan hanya dengan Arcanine. Sampai pada akhirnya Kaoru mengeluarkan Ampharos. Saat mengeluarkan Pokemon terakhirnya itu, aku melirik wajah Kaoru. Dia... menangis? Kenapa? Tapi saat dia menangis, ternyata Kaoru cantik juga, ya... Astaga! Berpikir apa aku ini?! Dia ini kan sekarang pacar sahabatku! Aah, aku memang bodoh!
Tanpa bertanya kenapa ia menangis, aku malah melanjutkan pertarungan. Berbeda dengan yang sebelum-sebelumnya, Ampharos tidak bisa aku jatuhkan hanya dengan satu kali Flamethrower. Ampharos tentu balik menyerang menggunakan Thunderbolt. Arcanine hampir saja kalah. Critical hit. Aku harus mengalahkan Ampharos dengan satu kali serangan kalau aku mau menang dengan skor 6-0. Aku memilih Fire Blast, jurus yang lebih kuat dari Flamethrower, berharap bisa mengalahkan Ampharos dengan satu kali serangan. Namun sayangnya Fire Blast meleset dan Ampharos berhasil menjatuhkan Arcanine dengan Thunderbolt. Baru saja aku mau mengeluarkan Pokemon keduaku, Kaoru malah mematikan DS Litenya.
“Hah? Kenapa?”
Kaoru tidak menjawab. Air mata masih mengalir deras dari matanya. Mencoba menahan tangisnya, ia merogoh tasnya kembali, namun kini yang dikeluarkannya adalah sebuah surat. Surat itu terlihat seperti sudah tertekuk beratus-ratus kali, sangat lusuh. Dia memberikan surat itu kepadaku. Akupun membuka surat itu, dan mencoba membacanya.
____________________________________________________________________________________________
To: Masato
From: Haruki
Hai, Masato jelek. Awalnya aku mau mengirim surat ini lewat e-mail. Tapi berhubung beberapa hari ini kau tidak membalas e-mailku, ya aku tulis saja di sini. Aku harap kau mau membaca surat ini.
Aku minta maaf kalau aku telah menyakiti perasaanmu. Aku tahu aku telah salah merebut seseorang yang kau cintai. Tapi seperti yang aku katakan dulu, aku tidak mau membohongi perasaanku. Aku mencintai Kaoru. Kalau kau tidak mau memaafkanku, aku rela. Aku mungkin juga akan melakukan hal yang sama jika aku berada di posisimu.
Aku juga mau memberitahukanmu kalau setelah ini aku akan pergi ke Amerika. Aku mendapat kesempatan untuk melakukan pertukaran pelajaran selama satu tahun, jadi mungkin kita tidak akan bertemu lagi dalam kurun waktu yang lama.
Aku mau berterima-kasih atas delapan tahun yang menyenangkan ini. Aku tak akan melupakan pertemuan kita pas musim panas tahun itu. Anak bodoh macam apa yang menangis karena badannya dikerumuni semut? Haha, bodoh sekali kau!
Bermain dan melakukan hal gila denganmu sangat menyenangkan. Oh iya, aku juga masih ingat dengan battle terakhir kita. Aku yakin kalau Ampharosku pasti bisa mengalahkan Arcaninemu! Akulah pemenangnya!
Sekian dulu suratku ini, Masato. Sampai bertemu di lain waktu. Sekali lagi, terimakasih.
____________________________________________________________________________________________
Amerika, ya? Pantas saja kalau dia tidak ada di rumah. Satu tahun... Cukup lama. Tapi aku masih bisa mengatakan maaf dengan e-mail. Yap, itu sudah cukup.
“Aah, Amerika, ya? Jauh sekali. Dasar si Haruki. Gak bilang-bilang dulu. Jadi, kapan kira-kira dia akan—“
“Pesawat yang ditumpangi Masato tergelincir di bandara pagi ini,” kata Kaoru memotong perkataanku.
“He...?!”
“Pesawatnya terbakar. Seluruh penumpangnya dinyatakan tewas, termasuk Haruki.”
“Apa maksudmu, Kaoru...?”
“Sebelum naik pesawat, dia meneleponku. Katanya, jika sesuatu terjadi padanya, aku harus mengambil surat dan DS Lite yang ada di meja belajarnya dan menemuimu. Dia sudah tahu ajal akan menjemputnya.”
“T-tunggu! K-kau bercanda kan? Iya kan, Kaoru?!”
Kesedihan Kaoru terlihat semakin dalam, “Haruki... tidak akan pernah pulang". A-apa ini? Apa maksud semua ini? Haruki tidak pernah pulang? Jadi... Haruki sudah meninggal?! Tidak... Aku tidak mau mempercayainya!!!
“... Dia mencoba meminta maaf kepadamu, bahkan sampai akhir hidupnya! Tapi kau malah mengacuhkannya! Kau teman terburuk yang pernah ada, Masato!” Kaoru tidak bisa menahan emosinya dan kembali menangis.
Ya, aku memang teman terburuk. Aku yang paling buruk! Tanpa aku sadari air mataku mulai mengalir, aku ikut menangis. Haruki, teman terbaik yang pernah aku miliki sekarang telah pergi untuk selamanya. Bahkan aku tidak sempat meminta maaf kepadanya. Aku membaca kembali surat terakhir yang ditulis oleh Haruki.
‘Aku yakin kalau Ampharosku pasti bisa mengalahkan Arcaninemu! Akulah pemenangnya!’
“Haha... Ya, Haruki. Kau memang benar. Kau adalah pemenangnya. Aku tidak sabar bertarung lagi denganmu di sana...”
-|Checkmate|-