Dreamlines
Namaku Neru. Seorang siswa SMA biasa di Disigma Town.
Tidak ada yang “salah” dalam hidupku. Tidak ada.
Hanya saja…
“Heh? Apaan tuh?” tampak seorang laki-laki merampas secarik kertas dari seorang gadis.
“Desain system kapsul baru… Harapanmu kebesaran, ah!” ejeknya seraya menyobek kertas itu dan meletakkan sobekan-sobekannya satu-persatu di atas meja.
Laki-laki itu adalah Arau Kurokawa. Banyak orang membencinya karena kesombongannya dan kebiasaannya mengganggu orang lain. Penegakkan peraturan yang kurang di sekolah tempatku membuatnya bisa bergerak bebas seperti angin.
Gadis yang ia ganggu tadi adalah Tsukiko Kiiroizu. Karena gaya berpikirnya yang “berbeda” dari orang pada umumnya, jarang ada yang berteman dengannya. Itu juga menjadi faktor yang membuat gadis malang itu menjadi target utama Arau.
“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanyaku menghampiri Tsukiko. Tampak sisa-sisa desain berserakan di atas mejanya, beberapa diantaranya basah terkena tetesan airmata.
“Ah… Err… Boleh aku minta sobekan-sobekan ini?” tanyaku padanya. A… Aku tidak tahu bagaimana caranya menangani orang seperti ini. Itulah salah satu hal yang kusesali.
Tsukiko tampak terkejut atas pertanyaanku. “Kenapa… Kamu menginginkan sobekan-sobekan ini?” Tanya gadis itu sambil menyeka airmata dan merapikan rambut hitamnya.
“Aku… Hanya tertarik saja. Itu saja…” jawabku sambil menggaruk kepalaku, tanpa sadar pipiku merona merah.
Masih agak bingung, Tsukiko mempersilahkanku. Akupun mengumpulkan sobekan-sobekan kertas itu dan membungkusnya dengan kertas buku catatanku yang kulipat menyerupai amplop.
Sepulang sekolah…
Aku melangkah menelusuri jalan dari aspal yang dihiasi genangan bekas air hujan.
Kuturunkan bagian kepala hoodie hitam yang kupakai, dan kulihat pepohonan di samping jalan; tampak sebuah tebing menjulang tinggi, tidak jauh dari tempat ini. Aku biasa duduk-duduk disana jika merasa risau.
Meskipun sedang baik-baik saja, aku putuskan untuk berjalan kesana. Kenapa tidak?
Di atas tebing…
Dari puncak tebing tampak pemandangan Disigma Town, dikelilingi pepohonan. Baru setelah beberapa saat, barulah kusadari kalau aku tidak sendiri.
Tampak seorang pemuda, duduk sendirian di pinggiran tebing. Ia sepertinya menyadari keberadaanku dan memutuskan untuk berbincang denganku. Ia segera berdiri, dan berjalan kearahku.
“Selamat siang~ Aku tidak menyangka aka nada orang lain disini…” sapanya ramah.
Lewat pengamatan lebih dekat, aku bisa melihat bahwa ia ternyata lebih tinggi dariku. Rambut hitamnya basah dengan air hujan, poninya dirapikan dengan sebuah hairclip warna biru tua. Laki-laki ini menggunakan hairclip?
“Aku juga. Biasanya aku duduk-duduk disini kalau sedang tidak enak hati.” Jawabku “Anda sendiri?” tanyaku balik.
“Aku? Aku hanya singgah disini… Tempat ini mirip dengan tebing tempatku terkadang merenung.” Jawabnya. Sesama pecinta tebing renungan, huh?
Ia memperhatikanku beberapa saat, sepertinya menelitiku. Kemudian ia tersenyum, dan mundur selangkah. “Baiklah, sepertinya aku akan pergi sekarang; sampai jumpa~” serunya seraya berjalan turun lewat belakang tebing.
Setelah merenung beberapa lama di atas tebing aku memutuskan untuk turun.
Di hutan belakang tebing…
Langkahku terhenti ketika kulihat seorang gadis berdiri agak jauh di hadapanku, tampak memperhatikanku. Aku sudah tengar tentang cerita penunggu hutan atau semacamnya, tapi aku tidak pernah percaya…
Ku dekati gadis itu, sementara matanya hanya menatapku sambil tersenyum ringan.
Aku mulai merasa kalau ada yang tidak beres.
“Maaf, tetapi siapa anda? Dan kenapa anda menatap saya seperti itu?” tanyaku pada gadis yang terus saja menatapku dengan tidak normal.
Adapun gadis itu mengenakan celana panjang hitam, serta kaos hitam yang dilapisi kemeja lengan panjang putih. Penampilan formal yang out-of-place ini menambah keanehan gadis ini. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih tertiup angin dingin dari hutan ini.
“Aku sudah melihat kedalam dirimu. Kamu memiliki potensi yang kucari.” Ujar—tunggu. Suara itu… Dia pria?
“Anda pria?” tanyaku terkejut.
“Ya, dan kamu tidak perlu terlalu formal berbicara denganku.” Jawabnya, menghembuskan banyak udara.
“Aku telah melihat apa yang ada di dalam dirimu. Hatimu.” Ujarnya lagi.
“Maaf, tapi aku—“
“Kamu menyukai gadis itu, kan? Dan kamu ingin memberi pelajaran pada lelaki itu, kan?” potong pria aneh itu.
Hah? Apa yang dia maksud itu… Tsukiko dan Arau? Tidak salah lagi, tapi bagaimana dia tahu? “Maaf, tapi aku tidak tahu apa maksudmu.” Jawabku.
“Tsukiko Kiiroizu, teman sekelasmu. Kamu menyukainya, dan ingin memberi pelajaran pada Arau Kurokawa yang selalu menganggunya, benar?”
“Siapa kamu sebenarnya…?” tanyaku.
“Kamu akan tahu nanti. Yang aku inginkan adalah membantumu.” Jawabnya.
“Membantuku? … Maksudmu?” tanyaku bingung.
“Membantumu memberi pelajaran pada Arau, tentunya. Jika apa yang aku lihat benar, maka bantuanku akan sangat cocok denganmu.” Katanya.
Aku terdiam.
“Terimalah ini.” Katanya sambil mengulurkan tangannya. Tampak sebuah benda seperti bola kaca yang mengkilap, berwarna ungu. “Aku tidak pernah setuju pada penghilangan nyawa untuk keuntungan diri sendiri; tapi bagaimana jika kamu menghilangkan nyawa orang lain dalam mimpi?”
“Benda apa ini? Menghilangkan nyawa?” tanyaku, sambil menggenggam benda dingin ini.
“Itu adalah Dream Sphere. Dengan pokemon yang tepat, kamu dapat memasuki mimpi seseorang, dan mengaturnya sesukamu. Dengan ini, kamu dapat memberikan pelajaran pada Arau itu.” Jelasnya.
“Mustahil… Kenapa aku harus percaya kepadamu?” tanyaku tidak percaya.
“Kamu akan percaya padaku nanti.” Kata pria itu.
“Maksudmu—“ belum saja aku selesai berkata, orang itu menghilang bersama angin.
Malamnya, di kamar apartemen…
Kurebahkan diriku diatas tempat tidur, sobekan kertas Tsukiko berserakan di meja tulisku bersama dengan desain yang kugambar ulang diatas kertas baru. Benda aneh berkilau yang diberikan oleh pria aneh tadi menerawang cahaya lampu kamarku.
“(Mimpi…?)” pikirku. Akupun bangkit duduk dan menekan tombol pokeball di sampingku. “Musharna, keluarlah.”
Pokemon ungu itu mengambang di samping tempat tidurku. “Musharna, pegang ini dan gunakan Hypnosis padaku.” Perintahku pada Musharna. Mataku terpejam perlahan terkena Hypnosis Musharna.
…
Kubuka mataku. Aku tengah berdiri di sebuah dataran tanpa ujung. Tak ada apapun di sekitarku kecuali lantai kaca tanpa batas, langit yang agak kelabu menjadi atapku. “Dimana ini? Apakah ini dunia mimpi?” gumamku.
“Bisa ya, bisa tidak.” Terdengar suara dari belakangku.
Ketika aku berpaling, tampak pria aneh dari sebelumnya menatapku, tampak tenang dengan senyumannya. “Ini adalah Dreamline. Dunia perbatasan.” Ujarnya. “Dari sini kamu dapat masuk kedalam mimpi orang yang kamu pikirkan. Cukup pikirkan orang itu, dan ‘pintu’ akan terbuka bagimu.”
Siapa… Siapa dia sebenarnya? Tapi yang lebih penting… Tempat ini… Pikirkan orang yang ingin kumasuki mimpinya? Aku harus memikirkan Arau?
“(Arau… Orang itu… Ya; akan kumasuki mimpinya… Dan ku kacau-balaukan.)” pikirku.
Belum lama aku berpikir, tampak cahaya ungu kelam terbentuk di depanku.
“Mimpi Arau…” gumamku. Pria di belakangku mengangguk.
Aku hendak berjalan kedalam, ketika pria itu mengatakan sesuatu kepadaku sambil tersenyum, “Berhati-hatilah; gangguan yang terlalu sering terhadap dunia mimpi seseorang akan merusak serat yang menghubungkan realita dan mimpi.”
Terbuai dengan kemampuanku, akupun terus berjalan kedalam cahaya.
…
“Ini… Mimpi Arau?” gumamku yang sadar tengah berdiri diatas sebuah tebing. Tampak Arau berdiri di seberangku.
“Hei, Arau!” seruku.
Arau berpaling kepadaku. “Hei… Kamu lelaki di kelas itu kan? Siapa namamu—Ah, Neru.”
“Akan kuberikan kau pelajaran.” Ujarku.
Ini dunia mimpi. Aku memiliki kekuasaan melakukan apa yang aku inginkan disini…
“Giratina, maju!” Pokemon legenda tersebut bangkit dari belakangku.
“Mu… Mustahil…” ujar Arau.
“Giratina, Shadow Claw!” seruku.
Giratina langsung mencakar Arau. Arau yang terluka dan kehilangan keseimbangan salah menapak dan terjatuh dari tebing.
Seketika akupun terbangun. Musharna terkejut melihatku, sementara Dream Sphere tampak baru saja berhenti bersinar. Aku melihat kearah jam. Pukul 4 pagi. Ku renungkan perbuatanku…
“Aha… Ahahahaha… AHHAHAHAHAHAHAHAH!” tawaku.
Aku tersenyum lebar. “Ini fantastis… Ini hebat!” sahutku sambil memegang kepalaku.
Meski dalam mimpi, rasanya menyenangkan sekali dapat memberi pelajaran pada Arau!
Keesokan harinya, di sekolah…
“Nih…” kataku seraya memberikan desain kapsul yang kugambar ulang. “Gambarmu jauh lebih bagus dariku, tapi aku harap ini dapat membantu.” Ujarku pada Tsukiko sambil tersenyum.
Tsukiko tampak senang menerima “hadiah”-ku. “Te-terimakasih… Eeh… Kamu tidak perlu melakukan ini, kok…” gumamnya malu.
Seharian itu, Arau tampak merenung, sepertinya ia mencoba mengingat sesuatu. Aku hanya meliriknya diam-diam sambil tersenyum puas. Meskipun begitu, hari itu juga ia masih menganggu Tsukiko…
Dreamline…
“Ingin menagganggu Arau lagi?” sambut pria aneh.
“Ya…” gumamku seraya berjalan kearah cahaya yang mulai terbentuk.
…
“Hai, Arau…” sapaku dari atas Giratina. Kembali lagi Giratina menghabisi Arau, mengakhiri mimpi kami. Aku dapat melakukan ini tiap hari tanpa ragu. Ia tidak akan mengingatku; aku bukan komponen dari mimpinya.
…
Tanpa kusadari hari demi hari berlalu.
Tiap hari di sekolah Arau terus saja menganggu Tsukiko.
Tiap hari pula aku terus membunuhnya dalam mimpi.
Hingga suatu hari, Arau tidak masuk sekolah.
Katanya ia terluka parah karena dicakar sesuatu yang besar. Apa mungkin…
“gangguan yang terlalu sering terhadap dunia mimpi seseorang akan merusak serat yang menghubungkan realita dan mimpi.”
Mungkinkah ini karena aku terlalu banyak menganggu mimpi Arau, sehingga serat mimpi dan kenyataan kami mulai sobek?
Semenjak saat itu, aku tidak pernah menggunakan Dream Sphere lagi.
Lagipula, Arau tidak akan bisa menganggu Tsukiko dalam keadaannya sekarang.
…
Hari berganti minggu berganti bulan.
Arau sudah kembali pulih, dan mulai menganggu orang-orang lagi, termasuk Tsukiko.
Tetapi sudahlah, aku sudah belajar untuk menahan emosiku; lagipula, aku selalu berusaha untuk selalu ada untuk Tsukiko dalam kegembiraan dan kesedihannya.
Hasilnya, aku dan Tsukiko menjadi teman yang sangat dekat.
Aku terus belajar dari Tsukiko, sementara ia sendiri mulai belajar untuk lebih terbuka bagi dunia sekitarnya.
Suatu hari…
“Nee, Neru…” sapa Tsukiko pelan.
“Ya? Ada apa, Tsukiko?” tanyaku.
Tsukiko menyerahkan selembar kertas yang dibungkus amplop kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku.
“Ini… Hah? Aku segera kesana!” jawab Tsukiko garing seraya berlari keluar kelas.
“Jelas sekali tidak ada yang memanggilnya…” gumamku sambil tersenyum.
Setelah kubaca, ternyata itu adalah surat dari Tsukiko. Ia ingin aku datang berdua dengannya ke festival musim panas minggu depan.
“Tentu saja ia malu…” gumamku pada diriku sendiri sambil tersenyum kecil, meskipun aku sendiri juga… Sedikit malu.
“Surat apa itu? Sepertinya menarik.”
Suara yang familiar mengejutkanku. Refleks, aku tersentak dari kursi begitu mengetahui pria aneh yang pernah kutemui dulu tengah berdiri sambil tersenyum padaku di samping meja. Geez…
“Sudah lama kita tidak bertemu, yah…” sapanya. “Aku sudah tidak pernah melihatmu di Dreamline.”
“Aku tidak perlu kesana lagi.” Ujarku. “Aku sudah menyelesaikan masalahku. Selain itu, aku tidak mau menambah kerusakan serat dunia kami.”
“Begitu, yah… Yang terjadi, terjadilah…” ujar pria aneh seraya berjalan keluar kelas. “Kita akan bertemu lagi, nanti.” Katanya sambil tersenyum seraya keluar dari pintu.
…
Dua hari sebelum festival…
Hari ini Tsukiko terlihat agak murung. Aku mencoba menanyakan apa yang terjadi padanya, tapi ia hanya berkata ia tidak apa-apa, meskipun wajahnya berkata lain. Apa yang kira-kira terjadi?
Hari ini juga Arau masih menganggu Tsukiko, tetapi Tsukiko tampak tidak peduli hari ini…
Malamnya…
Layar laptop milikku menunjukkan skor dari game shooting yang baru saja aku mainkan. Perasaanku tidak enak. Mungkin aku akan tidur cepat malam ini…
Dreamline…
Kenapa aku ada disini? Padahal aku tidak mengaktifkan Dream Sphere tadi…
“Hai.” Pria aneh menyapaku.
“Bagaimana aku bisa ada disini?” tanyaku. “Padahal aku tidak mengaktifkan Dream Sphere… Tolong jangan bilang kalau Dream Sphere akan menjadi otomatis suatu saat nanti. Itu mengerikan.”
“Tentu saja tidak… Kamu pikir aku karakter yang menjebak orang seperti yang tertulis dalam creepypasta?” jawab pria aneh. “Meskipun kamu tidak mengaktifkan Dream Sphere, aku dapat memanggil pemiliknya dalam tidurnya.”
“Aku tidak akan bertanya siapa kamu.”
“Aku suka reverse psychology. Kamu akan tahu siapa aku nanti.” Jawab pria aneh sambil bergurau. “Tapi ada satu hal yang ingin kusampaikan kepadamu.” Lanjutnya, wajahnya serius.
“Apakah itu?” jawabku terkejut melihat wajahnya yang tidak biasa itu.
“Aku minta maaf. Seharusnya aku memberitahu ini lebih awal…” jawabnya sambil menunduk.
“Tsukiko… Keadaan mentalnya selama ini memburuk. Namun ia menyimpan semua luka batinnya darimu. Tadi siang ia mulai mencapai puncaknya.” Jelasnya.
“Maksudmu…” aku ternganga.
Pria aneh mengangguk.
“Aku akan berusaha semampuku.” Jawabku.
Pria aneh tersenyum.
…
Paginya, aku segera bergegas ke sekolah. Besok adalah hari festival. Jika aku bisa menyemangati Tsukiko, akan sangat baik bagiku dan dia…
Di tengah jalan, aku bertemu dengan pria aneh. Akan tetapi, wajahnya sedih… Aku bertanya mengapa, tetapi ia hanya menunduk kemudian memberikan tatapan pahit padaku.
Di sekolah…
Aku terdiam.
Semua orang terdiam, bahkan Arau sekalipun.
Di sekolah disampaikan kabar bahwa Tsukiko menggantung dirinya di kamarnya.
Kenapa…? Kenapa aku bisa terlambat mencegahnya?
Malamnya, pria aneh menunjukkan keadaan kamar Tsukiko padaku.
Banyak kertas berserakan di lantai, meja, dan ada juga yang tertempel di dinding.
Kertas-kertas dengan gambar desain, sketsa, dan bahkan gambar dari kami berdua.
Kertas-kertas bertuliskan rancangan, rencana, bahkan isi hatinya.
Aku terus merasa seperti pelindungnya, padahal selama ini… Ia yang ingin melindungi aku dari emosiku. Selama berbulan-bulan…
Setelah melihat pemandangan itu, akupun memutuskan untuk menyelesaikan semua ini.
Aku berjalan agak jauh dari pria aneh, tampak portal cahaya ungu terbuka di depanku.
Pria aneh terkejut. Ia hanya tersenyum kecil dan berkata, “Saatnya sudah tiba, kan? Tapi apa kamu tidak takut? Serat kenyataan yang telah sobek sejauh ini… Sedikit luka lagi akan menyebabkan tergabungnya mimpi dan kenyataan. Kamu akan membunuh Arau.”
Pikiranku terlalu kabur untuk mempertimbangkan itu, aku hanya tersenyum lebar.
“Dan kamu tidak akan dapat kembali ke dunia nyata.” Tambah pria aneh.
Aku terdiam. “… Kenapa?” tanyaku.
“Karena dunia mimpi Arau akan segera diberlalukan sebagai kenyataanmu setelah kamu menyobek seratnya.”
Aku tidak begitu mengerti, tetapi aku hanya berpaling dan berjalan menuju cahaya.
…
Setelah tiba di mimpi Arau, aku segera mengeluarkan Giratina milikku sambil menyeringai lebar. “Kita bertemu lagi… Arau.” Gumamku.
Arau terkejut ketika melihat sosokku bersama Giratina, dan terduduk di tanah.
Sementara itu…
Tampak pria aneh berdiri di tempat yang ternyata merupakan ujung Dreamline.
Lantai kaca jernih memantulkan langit kelabu di atasnya.
Yang berada di ujung Dreamline hanyalah langit tak berujung yang terus membentang ke depan.
Dreamline tampak seperti papan kaca bening yang mengapung di atas langit, sementara pria aneh hanya termenung melihat keatas…
Sesuatu tampak menarik perhatian pria aneh. Awan kelabu Dreamline tampak berserak, langit biru cerah mulai terbuka.
“Sudah saatnya. Sudah saatnya… Setelah semua aktor yang ditentukan terkumpul, yang perlu dilakukan hanyalah memulai misinya. Setelah waktu selama ini…” ujar pria aneh sambil tersenyum, menegadah ke langit. “Ayah… Ibu… Apa kalian bisa melihatku dari sana? Apa yang akan kalian katakan sekarang, hmm?” tambahnya.
“Ah, sepertinya aku harus pergi sekarang…”
Mimpi Arau…
Arau tergeletak, tubuhnya penuh luka. “Kenapa… Kenapa kamu melakukan ini?”
“Aku… Aku tidak tega melihatnya… Tsukiko… Kamu harus…” sahut Neru sambil terisak.
Tubuh Arau bergetar, “Jika kamu ingin menghabisiku sekarang… Lakukanlah!” teriak Arau.
Neru melotot terdiam.
“Tapi ingat… Jika kamu lakukan… Apa bedanya kamu denganku?” ujar Arau, kesakitan tampak di wajahnya.
Neru melangkah mundur. Ia mencengkeram kepalanya, kemudan berteriak, airmata bercucuran di pipinya. Iapun kemudian memandangi Arau dengan tajam, namun kebencian tidak tampak di wajahnya.
“Baiklah… Apa itu yang kamu mau? Tsukiko juga tidak akan pernah senang dengan ini…” ujar Neru. “Selama ini… Dia yang melindungiku. Melindungiku agar tidak termakan emosiku… Dan kamu secara tidak langsung membantunya sekarang…” tambahnya, sosok Giratina hilang dari belakangnya.
Seperti angin, pria aneh muncul di samping Neru.
“Bagaimana…?” Neru terkejut.
Pria aneh kemudian mendekati Arau, dan dengan sekejap menyembuhkan luka-lukanya dengan sentuhan tangannya. Ia kemudian memegangi kepala Arau, dan dengan seketika wujud Arau hilang seperti angin.
“Aku sudah ‘membangunkannya’; selain itu, ia akan lupa akan kejadian ini…” ujar pria aneh sambil tersenyum pada Neru.
Neru hanya terdiam tak percaya akan apa yang dilihatnya.
“Sekarang, menurutmu apa yang akan kamu lakukan?” Tanya pria aneh pada Neru. “Kamu tidak akan bisa kembali ke duniamu…”
“Aku… Aku tidak tahu.” Jawab Neru.
“Bagaimana jika ikut denganku?” Tanya pria aneh. “Selama ini, dugaan dan rancanganku berjalan dengan baik. Kita akan menyelesaikan sebuah misi bersama-sama…” ujar pria aneh sambil tersenyum kecil.
“Tapi kamu bilang…”
“Meh, aku bisa mengatur semuanya… Aku menguasai tempat ini.” Ujar pria aneh penuh kebanggaan. “Aku janji perjalanan kita akan menyenangkan. Aku juga bisa memindahkan tubuh fisikmu kemari… Selain itu, kamu juga akan menjadi sepertiku.”
“… … Kedengarannya menyenangkan. Tapi kamu harus berjanji untuk memberitahuku siapa dirimu sebenarnya.” Ujar Neru.
“Nanti akan kuberi tahu…” ujar pria aneh.
Neru berpikir sejenak, kemudian manerik napas panjang.
“Ayo, kita pergi…” kata Neru.
“Lihat siapa yang bicara sekarang…” balas pria aneh santai.
Neru POV…
Setelah kejadian itu, aku pergi untuk menjalankan suatu “misi” bersama si pria aneh.
Arau tidak ingat apapun mengenai kejadian waktu itu, tapi sepertinya pria aneh masih meninggalkan sedikit trauma mental dalam kepalanya, untuk suatu alasan yang baik.
Tetapi aku masih punya urusan yang harus di selesaikan…
“Neru, ayo…” panggil pria aneh.
Aku hanya tersenyum kecil, seraya berjalan kearahnya…
Tidak ada yang “salah” dalam hidupku. Tidak ada.
Hanya saja…
“Heh? Apaan tuh?” tampak seorang laki-laki merampas secarik kertas dari seorang gadis.
“Desain system kapsul baru… Harapanmu kebesaran, ah!” ejeknya seraya menyobek kertas itu dan meletakkan sobekan-sobekannya satu-persatu di atas meja.
Laki-laki itu adalah Arau Kurokawa. Banyak orang membencinya karena kesombongannya dan kebiasaannya mengganggu orang lain. Penegakkan peraturan yang kurang di sekolah tempatku membuatnya bisa bergerak bebas seperti angin.
Gadis yang ia ganggu tadi adalah Tsukiko Kiiroizu. Karena gaya berpikirnya yang “berbeda” dari orang pada umumnya, jarang ada yang berteman dengannya. Itu juga menjadi faktor yang membuat gadis malang itu menjadi target utama Arau.
“Hei, kamu tidak apa-apa?” tanyaku menghampiri Tsukiko. Tampak sisa-sisa desain berserakan di atas mejanya, beberapa diantaranya basah terkena tetesan airmata.
“Ah… Err… Boleh aku minta sobekan-sobekan ini?” tanyaku padanya. A… Aku tidak tahu bagaimana caranya menangani orang seperti ini. Itulah salah satu hal yang kusesali.
Tsukiko tampak terkejut atas pertanyaanku. “Kenapa… Kamu menginginkan sobekan-sobekan ini?” Tanya gadis itu sambil menyeka airmata dan merapikan rambut hitamnya.
“Aku… Hanya tertarik saja. Itu saja…” jawabku sambil menggaruk kepalaku, tanpa sadar pipiku merona merah.
Masih agak bingung, Tsukiko mempersilahkanku. Akupun mengumpulkan sobekan-sobekan kertas itu dan membungkusnya dengan kertas buku catatanku yang kulipat menyerupai amplop.
Sepulang sekolah…
Aku melangkah menelusuri jalan dari aspal yang dihiasi genangan bekas air hujan.
Kuturunkan bagian kepala hoodie hitam yang kupakai, dan kulihat pepohonan di samping jalan; tampak sebuah tebing menjulang tinggi, tidak jauh dari tempat ini. Aku biasa duduk-duduk disana jika merasa risau.
Meskipun sedang baik-baik saja, aku putuskan untuk berjalan kesana. Kenapa tidak?
Di atas tebing…
Dari puncak tebing tampak pemandangan Disigma Town, dikelilingi pepohonan. Baru setelah beberapa saat, barulah kusadari kalau aku tidak sendiri.
Tampak seorang pemuda, duduk sendirian di pinggiran tebing. Ia sepertinya menyadari keberadaanku dan memutuskan untuk berbincang denganku. Ia segera berdiri, dan berjalan kearahku.
“Selamat siang~ Aku tidak menyangka aka nada orang lain disini…” sapanya ramah.
Lewat pengamatan lebih dekat, aku bisa melihat bahwa ia ternyata lebih tinggi dariku. Rambut hitamnya basah dengan air hujan, poninya dirapikan dengan sebuah hairclip warna biru tua. Laki-laki ini menggunakan hairclip?
“Aku juga. Biasanya aku duduk-duduk disini kalau sedang tidak enak hati.” Jawabku “Anda sendiri?” tanyaku balik.
“Aku? Aku hanya singgah disini… Tempat ini mirip dengan tebing tempatku terkadang merenung.” Jawabnya. Sesama pecinta tebing renungan, huh?
Ia memperhatikanku beberapa saat, sepertinya menelitiku. Kemudian ia tersenyum, dan mundur selangkah. “Baiklah, sepertinya aku akan pergi sekarang; sampai jumpa~” serunya seraya berjalan turun lewat belakang tebing.
Setelah merenung beberapa lama di atas tebing aku memutuskan untuk turun.
Di hutan belakang tebing…
Langkahku terhenti ketika kulihat seorang gadis berdiri agak jauh di hadapanku, tampak memperhatikanku. Aku sudah tengar tentang cerita penunggu hutan atau semacamnya, tapi aku tidak pernah percaya…
Ku dekati gadis itu, sementara matanya hanya menatapku sambil tersenyum ringan.
Aku mulai merasa kalau ada yang tidak beres.
“Maaf, tetapi siapa anda? Dan kenapa anda menatap saya seperti itu?” tanyaku pada gadis yang terus saja menatapku dengan tidak normal.
Adapun gadis itu mengenakan celana panjang hitam, serta kaos hitam yang dilapisi kemeja lengan panjang putih. Penampilan formal yang out-of-place ini menambah keanehan gadis ini. Rambutnya yang panjang dan berwarna putih tertiup angin dingin dari hutan ini.
“Aku sudah melihat kedalam dirimu. Kamu memiliki potensi yang kucari.” Ujar—tunggu. Suara itu… Dia pria?
“Anda pria?” tanyaku terkejut.
“Ya, dan kamu tidak perlu terlalu formal berbicara denganku.” Jawabnya, menghembuskan banyak udara.
“Aku telah melihat apa yang ada di dalam dirimu. Hatimu.” Ujarnya lagi.
“Maaf, tapi aku—“
“Kamu menyukai gadis itu, kan? Dan kamu ingin memberi pelajaran pada lelaki itu, kan?” potong pria aneh itu.
Hah? Apa yang dia maksud itu… Tsukiko dan Arau? Tidak salah lagi, tapi bagaimana dia tahu? “Maaf, tapi aku tidak tahu apa maksudmu.” Jawabku.
“Tsukiko Kiiroizu, teman sekelasmu. Kamu menyukainya, dan ingin memberi pelajaran pada Arau Kurokawa yang selalu menganggunya, benar?”
“Siapa kamu sebenarnya…?” tanyaku.
“Kamu akan tahu nanti. Yang aku inginkan adalah membantumu.” Jawabnya.
“Membantuku? … Maksudmu?” tanyaku bingung.
“Membantumu memberi pelajaran pada Arau, tentunya. Jika apa yang aku lihat benar, maka bantuanku akan sangat cocok denganmu.” Katanya.
Aku terdiam.
“Terimalah ini.” Katanya sambil mengulurkan tangannya. Tampak sebuah benda seperti bola kaca yang mengkilap, berwarna ungu. “Aku tidak pernah setuju pada penghilangan nyawa untuk keuntungan diri sendiri; tapi bagaimana jika kamu menghilangkan nyawa orang lain dalam mimpi?”
“Benda apa ini? Menghilangkan nyawa?” tanyaku, sambil menggenggam benda dingin ini.
“Itu adalah Dream Sphere. Dengan pokemon yang tepat, kamu dapat memasuki mimpi seseorang, dan mengaturnya sesukamu. Dengan ini, kamu dapat memberikan pelajaran pada Arau itu.” Jelasnya.
“Mustahil… Kenapa aku harus percaya kepadamu?” tanyaku tidak percaya.
“Kamu akan percaya padaku nanti.” Kata pria itu.
“Maksudmu—“ belum saja aku selesai berkata, orang itu menghilang bersama angin.
Malamnya, di kamar apartemen…
Kurebahkan diriku diatas tempat tidur, sobekan kertas Tsukiko berserakan di meja tulisku bersama dengan desain yang kugambar ulang diatas kertas baru. Benda aneh berkilau yang diberikan oleh pria aneh tadi menerawang cahaya lampu kamarku.
“(Mimpi…?)” pikirku. Akupun bangkit duduk dan menekan tombol pokeball di sampingku. “Musharna, keluarlah.”
Pokemon ungu itu mengambang di samping tempat tidurku. “Musharna, pegang ini dan gunakan Hypnosis padaku.” Perintahku pada Musharna. Mataku terpejam perlahan terkena Hypnosis Musharna.
…
Kubuka mataku. Aku tengah berdiri di sebuah dataran tanpa ujung. Tak ada apapun di sekitarku kecuali lantai kaca tanpa batas, langit yang agak kelabu menjadi atapku. “Dimana ini? Apakah ini dunia mimpi?” gumamku.
“Bisa ya, bisa tidak.” Terdengar suara dari belakangku.
Ketika aku berpaling, tampak pria aneh dari sebelumnya menatapku, tampak tenang dengan senyumannya. “Ini adalah Dreamline. Dunia perbatasan.” Ujarnya. “Dari sini kamu dapat masuk kedalam mimpi orang yang kamu pikirkan. Cukup pikirkan orang itu, dan ‘pintu’ akan terbuka bagimu.”
Siapa… Siapa dia sebenarnya? Tapi yang lebih penting… Tempat ini… Pikirkan orang yang ingin kumasuki mimpinya? Aku harus memikirkan Arau?
“(Arau… Orang itu… Ya; akan kumasuki mimpinya… Dan ku kacau-balaukan.)” pikirku.
Belum lama aku berpikir, tampak cahaya ungu kelam terbentuk di depanku.
“Mimpi Arau…” gumamku. Pria di belakangku mengangguk.
Aku hendak berjalan kedalam, ketika pria itu mengatakan sesuatu kepadaku sambil tersenyum, “Berhati-hatilah; gangguan yang terlalu sering terhadap dunia mimpi seseorang akan merusak serat yang menghubungkan realita dan mimpi.”
Terbuai dengan kemampuanku, akupun terus berjalan kedalam cahaya.
…
“Ini… Mimpi Arau?” gumamku yang sadar tengah berdiri diatas sebuah tebing. Tampak Arau berdiri di seberangku.
“Hei, Arau!” seruku.
Arau berpaling kepadaku. “Hei… Kamu lelaki di kelas itu kan? Siapa namamu—Ah, Neru.”
“Akan kuberikan kau pelajaran.” Ujarku.
Ini dunia mimpi. Aku memiliki kekuasaan melakukan apa yang aku inginkan disini…
“Giratina, maju!” Pokemon legenda tersebut bangkit dari belakangku.
“Mu… Mustahil…” ujar Arau.
“Giratina, Shadow Claw!” seruku.
Giratina langsung mencakar Arau. Arau yang terluka dan kehilangan keseimbangan salah menapak dan terjatuh dari tebing.
Seketika akupun terbangun. Musharna terkejut melihatku, sementara Dream Sphere tampak baru saja berhenti bersinar. Aku melihat kearah jam. Pukul 4 pagi. Ku renungkan perbuatanku…
“Aha… Ahahahaha… AHHAHAHAHAHAHAHAH!” tawaku.
Aku tersenyum lebar. “Ini fantastis… Ini hebat!” sahutku sambil memegang kepalaku.
Meski dalam mimpi, rasanya menyenangkan sekali dapat memberi pelajaran pada Arau!
Keesokan harinya, di sekolah…
“Nih…” kataku seraya memberikan desain kapsul yang kugambar ulang. “Gambarmu jauh lebih bagus dariku, tapi aku harap ini dapat membantu.” Ujarku pada Tsukiko sambil tersenyum.
Tsukiko tampak senang menerima “hadiah”-ku. “Te-terimakasih… Eeh… Kamu tidak perlu melakukan ini, kok…” gumamnya malu.
Seharian itu, Arau tampak merenung, sepertinya ia mencoba mengingat sesuatu. Aku hanya meliriknya diam-diam sambil tersenyum puas. Meskipun begitu, hari itu juga ia masih menganggu Tsukiko…
Dreamline…
“Ingin menagganggu Arau lagi?” sambut pria aneh.
“Ya…” gumamku seraya berjalan kearah cahaya yang mulai terbentuk.
…
“Hai, Arau…” sapaku dari atas Giratina. Kembali lagi Giratina menghabisi Arau, mengakhiri mimpi kami. Aku dapat melakukan ini tiap hari tanpa ragu. Ia tidak akan mengingatku; aku bukan komponen dari mimpinya.
…
Tanpa kusadari hari demi hari berlalu.
Tiap hari di sekolah Arau terus saja menganggu Tsukiko.
Tiap hari pula aku terus membunuhnya dalam mimpi.
Hingga suatu hari, Arau tidak masuk sekolah.
Katanya ia terluka parah karena dicakar sesuatu yang besar. Apa mungkin…
“gangguan yang terlalu sering terhadap dunia mimpi seseorang akan merusak serat yang menghubungkan realita dan mimpi.”
Mungkinkah ini karena aku terlalu banyak menganggu mimpi Arau, sehingga serat mimpi dan kenyataan kami mulai sobek?
Semenjak saat itu, aku tidak pernah menggunakan Dream Sphere lagi.
Lagipula, Arau tidak akan bisa menganggu Tsukiko dalam keadaannya sekarang.
…
Hari berganti minggu berganti bulan.
Arau sudah kembali pulih, dan mulai menganggu orang-orang lagi, termasuk Tsukiko.
Tetapi sudahlah, aku sudah belajar untuk menahan emosiku; lagipula, aku selalu berusaha untuk selalu ada untuk Tsukiko dalam kegembiraan dan kesedihannya.
Hasilnya, aku dan Tsukiko menjadi teman yang sangat dekat.
Aku terus belajar dari Tsukiko, sementara ia sendiri mulai belajar untuk lebih terbuka bagi dunia sekitarnya.
Suatu hari…
“Nee, Neru…” sapa Tsukiko pelan.
“Ya? Ada apa, Tsukiko?” tanyaku.
Tsukiko menyerahkan selembar kertas yang dibungkus amplop kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku.
“Ini… Hah? Aku segera kesana!” jawab Tsukiko garing seraya berlari keluar kelas.
“Jelas sekali tidak ada yang memanggilnya…” gumamku sambil tersenyum.
Setelah kubaca, ternyata itu adalah surat dari Tsukiko. Ia ingin aku datang berdua dengannya ke festival musim panas minggu depan.
“Tentu saja ia malu…” gumamku pada diriku sendiri sambil tersenyum kecil, meskipun aku sendiri juga… Sedikit malu.
“Surat apa itu? Sepertinya menarik.”
Suara yang familiar mengejutkanku. Refleks, aku tersentak dari kursi begitu mengetahui pria aneh yang pernah kutemui dulu tengah berdiri sambil tersenyum padaku di samping meja. Geez…
“Sudah lama kita tidak bertemu, yah…” sapanya. “Aku sudah tidak pernah melihatmu di Dreamline.”
“Aku tidak perlu kesana lagi.” Ujarku. “Aku sudah menyelesaikan masalahku. Selain itu, aku tidak mau menambah kerusakan serat dunia kami.”
“Begitu, yah… Yang terjadi, terjadilah…” ujar pria aneh seraya berjalan keluar kelas. “Kita akan bertemu lagi, nanti.” Katanya sambil tersenyum seraya keluar dari pintu.
…
Dua hari sebelum festival…
Hari ini Tsukiko terlihat agak murung. Aku mencoba menanyakan apa yang terjadi padanya, tapi ia hanya berkata ia tidak apa-apa, meskipun wajahnya berkata lain. Apa yang kira-kira terjadi?
Hari ini juga Arau masih menganggu Tsukiko, tetapi Tsukiko tampak tidak peduli hari ini…
Malamnya…
Layar laptop milikku menunjukkan skor dari game shooting yang baru saja aku mainkan. Perasaanku tidak enak. Mungkin aku akan tidur cepat malam ini…
Dreamline…
Kenapa aku ada disini? Padahal aku tidak mengaktifkan Dream Sphere tadi…
“Hai.” Pria aneh menyapaku.
“Bagaimana aku bisa ada disini?” tanyaku. “Padahal aku tidak mengaktifkan Dream Sphere… Tolong jangan bilang kalau Dream Sphere akan menjadi otomatis suatu saat nanti. Itu mengerikan.”
“Tentu saja tidak… Kamu pikir aku karakter yang menjebak orang seperti yang tertulis dalam creepypasta?” jawab pria aneh. “Meskipun kamu tidak mengaktifkan Dream Sphere, aku dapat memanggil pemiliknya dalam tidurnya.”
“Aku tidak akan bertanya siapa kamu.”
“Aku suka reverse psychology. Kamu akan tahu siapa aku nanti.” Jawab pria aneh sambil bergurau. “Tapi ada satu hal yang ingin kusampaikan kepadamu.” Lanjutnya, wajahnya serius.
“Apakah itu?” jawabku terkejut melihat wajahnya yang tidak biasa itu.
“Aku minta maaf. Seharusnya aku memberitahu ini lebih awal…” jawabnya sambil menunduk.
“Tsukiko… Keadaan mentalnya selama ini memburuk. Namun ia menyimpan semua luka batinnya darimu. Tadi siang ia mulai mencapai puncaknya.” Jelasnya.
“Maksudmu…” aku ternganga.
Pria aneh mengangguk.
“Aku akan berusaha semampuku.” Jawabku.
Pria aneh tersenyum.
…
Paginya, aku segera bergegas ke sekolah. Besok adalah hari festival. Jika aku bisa menyemangati Tsukiko, akan sangat baik bagiku dan dia…
Di tengah jalan, aku bertemu dengan pria aneh. Akan tetapi, wajahnya sedih… Aku bertanya mengapa, tetapi ia hanya menunduk kemudian memberikan tatapan pahit padaku.
Di sekolah…
Aku terdiam.
Semua orang terdiam, bahkan Arau sekalipun.
Di sekolah disampaikan kabar bahwa Tsukiko menggantung dirinya di kamarnya.
Kenapa…? Kenapa aku bisa terlambat mencegahnya?
Malamnya, pria aneh menunjukkan keadaan kamar Tsukiko padaku.
Banyak kertas berserakan di lantai, meja, dan ada juga yang tertempel di dinding.
Kertas-kertas dengan gambar desain, sketsa, dan bahkan gambar dari kami berdua.
Kertas-kertas bertuliskan rancangan, rencana, bahkan isi hatinya.
Aku terus merasa seperti pelindungnya, padahal selama ini… Ia yang ingin melindungi aku dari emosiku. Selama berbulan-bulan…
Setelah melihat pemandangan itu, akupun memutuskan untuk menyelesaikan semua ini.
Aku berjalan agak jauh dari pria aneh, tampak portal cahaya ungu terbuka di depanku.
Pria aneh terkejut. Ia hanya tersenyum kecil dan berkata, “Saatnya sudah tiba, kan? Tapi apa kamu tidak takut? Serat kenyataan yang telah sobek sejauh ini… Sedikit luka lagi akan menyebabkan tergabungnya mimpi dan kenyataan. Kamu akan membunuh Arau.”
Pikiranku terlalu kabur untuk mempertimbangkan itu, aku hanya tersenyum lebar.
“Dan kamu tidak akan dapat kembali ke dunia nyata.” Tambah pria aneh.
Aku terdiam. “… Kenapa?” tanyaku.
“Karena dunia mimpi Arau akan segera diberlalukan sebagai kenyataanmu setelah kamu menyobek seratnya.”
Aku tidak begitu mengerti, tetapi aku hanya berpaling dan berjalan menuju cahaya.
…
Setelah tiba di mimpi Arau, aku segera mengeluarkan Giratina milikku sambil menyeringai lebar. “Kita bertemu lagi… Arau.” Gumamku.
Arau terkejut ketika melihat sosokku bersama Giratina, dan terduduk di tanah.
Sementara itu…
Tampak pria aneh berdiri di tempat yang ternyata merupakan ujung Dreamline.
Lantai kaca jernih memantulkan langit kelabu di atasnya.
Yang berada di ujung Dreamline hanyalah langit tak berujung yang terus membentang ke depan.
Dreamline tampak seperti papan kaca bening yang mengapung di atas langit, sementara pria aneh hanya termenung melihat keatas…
Sesuatu tampak menarik perhatian pria aneh. Awan kelabu Dreamline tampak berserak, langit biru cerah mulai terbuka.
“Sudah saatnya. Sudah saatnya… Setelah semua aktor yang ditentukan terkumpul, yang perlu dilakukan hanyalah memulai misinya. Setelah waktu selama ini…” ujar pria aneh sambil tersenyum, menegadah ke langit. “Ayah… Ibu… Apa kalian bisa melihatku dari sana? Apa yang akan kalian katakan sekarang, hmm?” tambahnya.
“Ah, sepertinya aku harus pergi sekarang…”
Mimpi Arau…
Arau tergeletak, tubuhnya penuh luka. “Kenapa… Kenapa kamu melakukan ini?”
“Aku… Aku tidak tega melihatnya… Tsukiko… Kamu harus…” sahut Neru sambil terisak.
Tubuh Arau bergetar, “Jika kamu ingin menghabisiku sekarang… Lakukanlah!” teriak Arau.
Neru melotot terdiam.
“Tapi ingat… Jika kamu lakukan… Apa bedanya kamu denganku?” ujar Arau, kesakitan tampak di wajahnya.
Neru melangkah mundur. Ia mencengkeram kepalanya, kemudan berteriak, airmata bercucuran di pipinya. Iapun kemudian memandangi Arau dengan tajam, namun kebencian tidak tampak di wajahnya.
“Baiklah… Apa itu yang kamu mau? Tsukiko juga tidak akan pernah senang dengan ini…” ujar Neru. “Selama ini… Dia yang melindungiku. Melindungiku agar tidak termakan emosiku… Dan kamu secara tidak langsung membantunya sekarang…” tambahnya, sosok Giratina hilang dari belakangnya.
Seperti angin, pria aneh muncul di samping Neru.
“Bagaimana…?” Neru terkejut.
Pria aneh kemudian mendekati Arau, dan dengan sekejap menyembuhkan luka-lukanya dengan sentuhan tangannya. Ia kemudian memegangi kepala Arau, dan dengan seketika wujud Arau hilang seperti angin.
“Aku sudah ‘membangunkannya’; selain itu, ia akan lupa akan kejadian ini…” ujar pria aneh sambil tersenyum pada Neru.
Neru hanya terdiam tak percaya akan apa yang dilihatnya.
“Sekarang, menurutmu apa yang akan kamu lakukan?” Tanya pria aneh pada Neru. “Kamu tidak akan bisa kembali ke duniamu…”
“Aku… Aku tidak tahu.” Jawab Neru.
“Bagaimana jika ikut denganku?” Tanya pria aneh. “Selama ini, dugaan dan rancanganku berjalan dengan baik. Kita akan menyelesaikan sebuah misi bersama-sama…” ujar pria aneh sambil tersenyum kecil.
“Tapi kamu bilang…”
“Meh, aku bisa mengatur semuanya… Aku menguasai tempat ini.” Ujar pria aneh penuh kebanggaan. “Aku janji perjalanan kita akan menyenangkan. Aku juga bisa memindahkan tubuh fisikmu kemari… Selain itu, kamu juga akan menjadi sepertiku.”
“… … Kedengarannya menyenangkan. Tapi kamu harus berjanji untuk memberitahuku siapa dirimu sebenarnya.” Ujar Neru.
“Nanti akan kuberi tahu…” ujar pria aneh.
Neru berpikir sejenak, kemudian manerik napas panjang.
“Ayo, kita pergi…” kata Neru.
“Lihat siapa yang bicara sekarang…” balas pria aneh santai.
Neru POV…
Setelah kejadian itu, aku pergi untuk menjalankan suatu “misi” bersama si pria aneh.
Arau tidak ingat apapun mengenai kejadian waktu itu, tapi sepertinya pria aneh masih meninggalkan sedikit trauma mental dalam kepalanya, untuk suatu alasan yang baik.
Tetapi aku masih punya urusan yang harus di selesaikan…
“Neru, ayo…” panggil pria aneh.
Aku hanya tersenyum kecil, seraya berjalan kearahnya…