checkmate
- Sebuah cerpen karya Bagazkarap dan teman-teman
episode 1: know you
Namaku Masato. Sudah setahun ini aku suka dengan seorang perempuan di kelasku. Dia tidak terlalu cantik, tapi sifatnya yang baik hati itulah yang membuatku jatuh hati padanya. Aku ingin sekali menyatakan perasaanku ini padanya. Tapi aku takut kalau nantinya aku ditolak. Belum kemungkinan kalau ternyata dia sudah punya pacar. Apalagi aku juga sangat jarang bicara dengannya. Paling hanya ucapan “selamat pagi” yang aku ucapkan padanya di pagi hari. Masa’ tiba-tiba aku bilang sayang kepadanya? Ahh, hidup memang sulit.
“Oi, Masato! Pasti lagi mikirin Kaoru, ya! Dasar mesum!”, teriak Haruki membuyarkan lamunanku.
“Sstt! Haruki! Bodoh, sudah aku bilang jangan bilang siapa-siapa soal hal ini!”, aku menutup mulut Haruki yang cerewet itu sambil melihat sekitar apakah ada yang mendengar perkataannya tadi.
Temanku yang cerewet ini namanya Haruki. Dia adalah teman masa kecilku. Sejak TK kami selalu bersekolah di tempat yang sama. Dan di tahun ketigaku di SMP ini aku satu kelas lagi dengannya. Dari dulu kami selalu bermain bersama. Dan permainan yang paling sering kami mainkan dari dulu adalah... Pokemon. Ya, permainan yang dianggap sebagai permainan anak kecil itu ternyata sangat menyenangkan. Awalnya hanya Haruki saja yang bermain. Tapi setelah sering melihat dia bermain, aku juga jadi tertarik ikut bermain. Tapi bedanya, aku lebih suka bermain competitive. Sementara dia hanya asal bermain saja. Dan karena itulah aku sering menang darinya. Baru saja kemarin kami melakukan battle, yah walaupun battle-nya belum selesai waktu itu karena aku harus buru-buru pulang, tapi keadaannya waktu itu sudah kelihatan jelas kalau akulah pemenangnya. Oh, dan seperti yang dikatakannya tadi... hanya dia yang tahu kalau aku suka dengan Kaoru. Aku paling tidak suka memendam sesuatu. Jadi daripada langsung aku nyatakan perasaanku ini, aku ceritakan dulu kepada Haruki. Rasanya lebih lega punya seseorang yang bisa aku ajak bicara soal perasaanku ini.
“Haha, maaf. Oh iya, kau sudah belajar? Hari ini kita ada ulangan Matematika, kan?”
“Hmph! Tidak sepertimu, aku ini lebih rajin! Tentu saja! Karena—“
“Karena kau mau satu SMA dengan Kaoru kan? Hahaha, Masato, ambisimu besar sekali, ya! Emang apa sih yang bagus dari Kaoru? Kalau dari wajahnya sih... yah, 1:12 lah dengan Marie Iitoyo.”
“Diam aja, deh. Oh iya Haruki, bicara SMA, kau jadi mau satu sekolah denganku lagi?”
“Tentu saja! Mana tahan aku melihatmu bermesraan nantinya dengan si Marie Iitoyo KW itu sendirian!”
“Orang sepertimu tidak akan tahu betapa cantiknya Kaoru di mataku.”
“Iyaa, iyaa, haha. Udah ayo belajar bareng. Ada beberapa soal yang mau aku tanyakan padamu.”
- - -
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Di hari ini kami akan tahu siapa saja yang berhasil lulus ujian akhir dan berhak menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, atau di sini kasusnya adalah meneruskan ke SMA. Di hari ini juga kami akan tahu berapa nilai-nilai kami. Untuk bisa masuk ke SMA yang sama dengan Kaoru, rata-rata nilaiku minimal harus 8.5. Lumayan tinggi memang. Tapi aku yakin aku pasti bisa. Sejak tahu SMA pilihan Kaoru secara tidak sengaja alias menguping, aku yang tadinya malas belajar langsung belajar mati-matian agar bisa satu sekolah lagi dengannya. Aku mulai berhenti sementara membaca manga. Tiap malam aku sempatkan waktu 2 jam untuk mengulang kembali pelajaran hari itu juga. Usahaku selama ini tidak akan sia-sia!
“Masato! Pengumuman nilai kelas kita ada disana. Ayo lihat!”, teriak Haruki di tengah kerumunan siswa yang membanjiri lapangan sekolah.
Aku langsung mengikuti Haruki. Benar katanya, di sini banyak murid dari kelasku berkumpul. Dan salah satunya adalah Kaoru. Dia... sedang tersenyum. Sepertinya nilainya memenuhi kriteria untuk masuk SMA pilihannya. Syukurlah. Aku turut senang.
“Masato! Aku cek papan yang sebelah, ya! Namaku tidak ada di papan ini.”
Berjuanglah Haruki! Semoga nilaimu juga memenuhi! Baiklah, sekarang giliranku. Sudah terbayang di pikiranku bagaimana nanti jika aku satu sekolah dengan Kaoru lagi. Mungkin di SMA nanti aku bisa dekat dengannya. Dari pulang bersama, nanti jadi menonton bersama, makan bersama... Aah! Aku tidak sabar! Tunggu aku, Kaoru!
“Umm namaku... Masato... Masato... Ah, ketemu!”
- - -
Aku telah sampai di stasiun. Ayah dan ibuku terlihat sedih mengantar kepergianku. Yah, mau bagaimana lagi. Anak mereka satu-satunya akan tidak akan tinggal seatap lagi dengan mereka untuk sementara. Sekolahku kali ini akan jauh dari rumah. Mau tidak mau aku harus tinggal di rumah tanteku yang lebih dekat dari sekolahku yang baru. Rute keretanya pun jauh lebih singkat jika dari rumah tanteku. Jadi aku tidak perlu takut terlambat ke sekolah.
“Masato... maaf aku tidak bisa menepati janji kita...”
“Haha. Tidak apa-apa, Haruki.”
Haruki memang juga ikut mengantarku. Walaupun aku sudah bilang tidak usah, dia terus memaksa untuk ikut. Dasar keras kepala. Dia yang biasanya periang sekarang memasang wajah sedih seperti ini. Aku jadi tidak tega melihatnya seperti ini.
“Masato, mungkin aku juga—“
“Haruki! Harusnya kau senang. Apa seperti ini wajah orang yang nilai rata-ratanya di atas 8.5?”
Haruki hanya bisa terdiam mendengar perkataanku tadi. Terdengar melalui speaker petugas sudah menyuruh para penumpang untuk memasuki kereta. Kereta sudah akan berangkat. Aku kembali memandang kedua orang tuaku
“Mama, Papa, aku berangkat.”
“Hati-hati, sayang. Kami akan selalu mendoakanmu.”
“Tentu. Kalian semua juga jaga kesehatan, ya.”
Setelah mengatakan itu, aku segera masuk ke kereta. Agak sepi. Kelihatannya daerah yang akan aku tuju memang daerah terpencil. Tentu yang aku katakan tadi kepada Haruki adalah kebohongan. Aku sebenarnya ingin sekali satu sekolah lagi dengan Kaoru, mencoba mengenalnya lebih jauh... Kenapa hal ini bisa terjadi? Padahal aku sudah berusaha. Mungkin sudah saatnya aku membuang perasaanku ini. Ya... sudah saatnya. Aku memilih tempat duduk di dekat jendela. Dari sini aku bisa melihat pemandangan di luar kereta untuk mengisi kejenuhanku selama perjalanan. Sejenak aku rasakan sekelilingku bergetar. Kereta rupanya sudah mulai berjalan. Yah... ini yang terbaik.
“MASATOOO!!!”
Aku mendengar suara yang sangat familiar. Aku melihat keluar jendela. Terlihat Haruki tengah berlari berusaha mengejar kereta yang sedang berjalan. Bodoh. Apa yang dia lakukan?
“Masatooo!”
“Haruki! Apa yang kau lakukan?!”
“ Jangan menyerah!”
“A-apa?!”
“Jangan menyerah, Masato! Mulai sekarang, aku akan mengirimkan e-mail tentang apa saja yang terjadi di sekolah! Jadi... JANGAN MENYERAH!!!”
Haruki, kau...! Jangan menyerah, ya? Mungkin... mungkin... masih ada harapan untukku mengenal Kaoru lebih jauh!
“OIII, HARUKI!!!”
“HAAH?!”
“...TERIMAKASIH!!!”
- - -
*ding*
“Ah, sudah sampai rupanya.”
To: Masato
From: Haruki
“Hari ini rambut Kaoru hampir terbakar di lab kimia! Aku tidak habis pikir ternyata perempuan seperti Kaoru juga bisa melakukan hal ceroboh seperti itu!”
“Haha. Aku juga baru tahu dia punya sisi seperti itu.”
Sudah dua bulan Haruki mengirim e-mail seperti ini hampir setiap hari. Haruki benar-benar serius . Seperti yang dikatakannya padaku saat mengantarku di stasiun dulu, dia akan mengirimiku e-mail tentang apa saja yang terjadi di sekolah. Dengan seperti ini aku bisa mengenal Kaoru lebih dalam meski kami tidak satu sekolah. Dan lebih beruntungnya lagi, ternyata Haruki satu kelas dengan Kaoru! Lucky!
“Suatu hari nanti... aku pasti bisa mengatakannya. Dan pada saat itu...”
“Jangan suatu hari, mending sekarang saja.”
“Eh?”
“Hai, Masato.”
“EEEEH?! Re-Renge?!”
Aku langsung memasukkan ponselku ke kantong celanaku. Sejak kapan Renge ada di belakangku?! Renge ini adalah teman sekelasku di SMP dulu saat kelas dua. Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan teman sekelas SMPku lagi di kelas yang sama. Yah, walaupun dulu aku dan Renge bukanlah teman dekat. Eh, tunggu, jadi dia mendengar apa yang aku ucapkan tadi? Aduh, aku malu sekali!
“Biasa aja, deh. Kayak habis liat setan aja.”
“Re-Renge, sedang apa kau di sini?”
“Sedang apa? Yang piket hari ini kan bukan hanya kau saja.”
“Err, tentu saja. Maaf.”
“Hah? Kenapa kau harus minta maaf?”
“Ah, ma-maaf!”
“Kau melakukannya lagi.”
“Ma—“
“Cukup! Kau selalu saja begini. Melamun mulu. Sekalinya diajak bicara langsung gagap seperti itu. Membosankan!”
“...A-Aku sudah selesai piket. Aku pulang dulu!”
“Hei, Masato, tunggu!“
Aku mengambil tasku dan tidak menghiraukan Renge. Aah, kenapa aku ini orangnya sangat canggung? Bodohnya aku! Maafkan aku, Renge... oh, tidak aku melakukannya lagi.
“...Masato, andai saja perasaanmu itu adalah untukku.”
_______________________________________________________________________________________________
Bersambung ke Bagian 2
“Oi, Masato! Pasti lagi mikirin Kaoru, ya! Dasar mesum!”, teriak Haruki membuyarkan lamunanku.
“Sstt! Haruki! Bodoh, sudah aku bilang jangan bilang siapa-siapa soal hal ini!”, aku menutup mulut Haruki yang cerewet itu sambil melihat sekitar apakah ada yang mendengar perkataannya tadi.
Temanku yang cerewet ini namanya Haruki. Dia adalah teman masa kecilku. Sejak TK kami selalu bersekolah di tempat yang sama. Dan di tahun ketigaku di SMP ini aku satu kelas lagi dengannya. Dari dulu kami selalu bermain bersama. Dan permainan yang paling sering kami mainkan dari dulu adalah... Pokemon. Ya, permainan yang dianggap sebagai permainan anak kecil itu ternyata sangat menyenangkan. Awalnya hanya Haruki saja yang bermain. Tapi setelah sering melihat dia bermain, aku juga jadi tertarik ikut bermain. Tapi bedanya, aku lebih suka bermain competitive. Sementara dia hanya asal bermain saja. Dan karena itulah aku sering menang darinya. Baru saja kemarin kami melakukan battle, yah walaupun battle-nya belum selesai waktu itu karena aku harus buru-buru pulang, tapi keadaannya waktu itu sudah kelihatan jelas kalau akulah pemenangnya. Oh, dan seperti yang dikatakannya tadi... hanya dia yang tahu kalau aku suka dengan Kaoru. Aku paling tidak suka memendam sesuatu. Jadi daripada langsung aku nyatakan perasaanku ini, aku ceritakan dulu kepada Haruki. Rasanya lebih lega punya seseorang yang bisa aku ajak bicara soal perasaanku ini.
“Haha, maaf. Oh iya, kau sudah belajar? Hari ini kita ada ulangan Matematika, kan?”
“Hmph! Tidak sepertimu, aku ini lebih rajin! Tentu saja! Karena—“
“Karena kau mau satu SMA dengan Kaoru kan? Hahaha, Masato, ambisimu besar sekali, ya! Emang apa sih yang bagus dari Kaoru? Kalau dari wajahnya sih... yah, 1:12 lah dengan Marie Iitoyo.”
“Diam aja, deh. Oh iya Haruki, bicara SMA, kau jadi mau satu sekolah denganku lagi?”
“Tentu saja! Mana tahan aku melihatmu bermesraan nantinya dengan si Marie Iitoyo KW itu sendirian!”
“Orang sepertimu tidak akan tahu betapa cantiknya Kaoru di mataku.”
“Iyaa, iyaa, haha. Udah ayo belajar bareng. Ada beberapa soal yang mau aku tanyakan padamu.”
- - -
Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan. Di hari ini kami akan tahu siapa saja yang berhasil lulus ujian akhir dan berhak menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi, atau di sini kasusnya adalah meneruskan ke SMA. Di hari ini juga kami akan tahu berapa nilai-nilai kami. Untuk bisa masuk ke SMA yang sama dengan Kaoru, rata-rata nilaiku minimal harus 8.5. Lumayan tinggi memang. Tapi aku yakin aku pasti bisa. Sejak tahu SMA pilihan Kaoru secara tidak sengaja alias menguping, aku yang tadinya malas belajar langsung belajar mati-matian agar bisa satu sekolah lagi dengannya. Aku mulai berhenti sementara membaca manga. Tiap malam aku sempatkan waktu 2 jam untuk mengulang kembali pelajaran hari itu juga. Usahaku selama ini tidak akan sia-sia!
“Masato! Pengumuman nilai kelas kita ada disana. Ayo lihat!”, teriak Haruki di tengah kerumunan siswa yang membanjiri lapangan sekolah.
Aku langsung mengikuti Haruki. Benar katanya, di sini banyak murid dari kelasku berkumpul. Dan salah satunya adalah Kaoru. Dia... sedang tersenyum. Sepertinya nilainya memenuhi kriteria untuk masuk SMA pilihannya. Syukurlah. Aku turut senang.
“Masato! Aku cek papan yang sebelah, ya! Namaku tidak ada di papan ini.”
Berjuanglah Haruki! Semoga nilaimu juga memenuhi! Baiklah, sekarang giliranku. Sudah terbayang di pikiranku bagaimana nanti jika aku satu sekolah dengan Kaoru lagi. Mungkin di SMA nanti aku bisa dekat dengannya. Dari pulang bersama, nanti jadi menonton bersama, makan bersama... Aah! Aku tidak sabar! Tunggu aku, Kaoru!
“Umm namaku... Masato... Masato... Ah, ketemu!”
- - -
Aku telah sampai di stasiun. Ayah dan ibuku terlihat sedih mengantar kepergianku. Yah, mau bagaimana lagi. Anak mereka satu-satunya akan tidak akan tinggal seatap lagi dengan mereka untuk sementara. Sekolahku kali ini akan jauh dari rumah. Mau tidak mau aku harus tinggal di rumah tanteku yang lebih dekat dari sekolahku yang baru. Rute keretanya pun jauh lebih singkat jika dari rumah tanteku. Jadi aku tidak perlu takut terlambat ke sekolah.
“Masato... maaf aku tidak bisa menepati janji kita...”
“Haha. Tidak apa-apa, Haruki.”
Haruki memang juga ikut mengantarku. Walaupun aku sudah bilang tidak usah, dia terus memaksa untuk ikut. Dasar keras kepala. Dia yang biasanya periang sekarang memasang wajah sedih seperti ini. Aku jadi tidak tega melihatnya seperti ini.
“Masato, mungkin aku juga—“
“Haruki! Harusnya kau senang. Apa seperti ini wajah orang yang nilai rata-ratanya di atas 8.5?”
Haruki hanya bisa terdiam mendengar perkataanku tadi. Terdengar melalui speaker petugas sudah menyuruh para penumpang untuk memasuki kereta. Kereta sudah akan berangkat. Aku kembali memandang kedua orang tuaku
“Mama, Papa, aku berangkat.”
“Hati-hati, sayang. Kami akan selalu mendoakanmu.”
“Tentu. Kalian semua juga jaga kesehatan, ya.”
Setelah mengatakan itu, aku segera masuk ke kereta. Agak sepi. Kelihatannya daerah yang akan aku tuju memang daerah terpencil. Tentu yang aku katakan tadi kepada Haruki adalah kebohongan. Aku sebenarnya ingin sekali satu sekolah lagi dengan Kaoru, mencoba mengenalnya lebih jauh... Kenapa hal ini bisa terjadi? Padahal aku sudah berusaha. Mungkin sudah saatnya aku membuang perasaanku ini. Ya... sudah saatnya. Aku memilih tempat duduk di dekat jendela. Dari sini aku bisa melihat pemandangan di luar kereta untuk mengisi kejenuhanku selama perjalanan. Sejenak aku rasakan sekelilingku bergetar. Kereta rupanya sudah mulai berjalan. Yah... ini yang terbaik.
“MASATOOO!!!”
Aku mendengar suara yang sangat familiar. Aku melihat keluar jendela. Terlihat Haruki tengah berlari berusaha mengejar kereta yang sedang berjalan. Bodoh. Apa yang dia lakukan?
“Masatooo!”
“Haruki! Apa yang kau lakukan?!”
“ Jangan menyerah!”
“A-apa?!”
“Jangan menyerah, Masato! Mulai sekarang, aku akan mengirimkan e-mail tentang apa saja yang terjadi di sekolah! Jadi... JANGAN MENYERAH!!!”
Haruki, kau...! Jangan menyerah, ya? Mungkin... mungkin... masih ada harapan untukku mengenal Kaoru lebih jauh!
“OIII, HARUKI!!!”
“HAAH?!”
“...TERIMAKASIH!!!”
- - -
*ding*
“Ah, sudah sampai rupanya.”
To: Masato
From: Haruki
“Hari ini rambut Kaoru hampir terbakar di lab kimia! Aku tidak habis pikir ternyata perempuan seperti Kaoru juga bisa melakukan hal ceroboh seperti itu!”
“Haha. Aku juga baru tahu dia punya sisi seperti itu.”
Sudah dua bulan Haruki mengirim e-mail seperti ini hampir setiap hari. Haruki benar-benar serius . Seperti yang dikatakannya padaku saat mengantarku di stasiun dulu, dia akan mengirimiku e-mail tentang apa saja yang terjadi di sekolah. Dengan seperti ini aku bisa mengenal Kaoru lebih dalam meski kami tidak satu sekolah. Dan lebih beruntungnya lagi, ternyata Haruki satu kelas dengan Kaoru! Lucky!
“Suatu hari nanti... aku pasti bisa mengatakannya. Dan pada saat itu...”
“Jangan suatu hari, mending sekarang saja.”
“Eh?”
“Hai, Masato.”
“EEEEH?! Re-Renge?!”
Aku langsung memasukkan ponselku ke kantong celanaku. Sejak kapan Renge ada di belakangku?! Renge ini adalah teman sekelasku di SMP dulu saat kelas dua. Aku tak menyangka akan bertemu lagi dengan teman sekelas SMPku lagi di kelas yang sama. Yah, walaupun dulu aku dan Renge bukanlah teman dekat. Eh, tunggu, jadi dia mendengar apa yang aku ucapkan tadi? Aduh, aku malu sekali!
“Biasa aja, deh. Kayak habis liat setan aja.”
“Re-Renge, sedang apa kau di sini?”
“Sedang apa? Yang piket hari ini kan bukan hanya kau saja.”
“Err, tentu saja. Maaf.”
“Hah? Kenapa kau harus minta maaf?”
“Ah, ma-maaf!”
“Kau melakukannya lagi.”
“Ma—“
“Cukup! Kau selalu saja begini. Melamun mulu. Sekalinya diajak bicara langsung gagap seperti itu. Membosankan!”
“...A-Aku sudah selesai piket. Aku pulang dulu!”
“Hei, Masato, tunggu!“
Aku mengambil tasku dan tidak menghiraukan Renge. Aah, kenapa aku ini orangnya sangat canggung? Bodohnya aku! Maafkan aku, Renge... oh, tidak aku melakukannya lagi.
“...Masato, andai saja perasaanmu itu adalah untukku.”
_______________________________________________________________________________________________
Bersambung ke Bagian 2