Pokemon Multiply
Episode 1: Anak Nakal Flown Town
Episode 1: Anak Nakal Flown Town
Negeri Equater, Tahun 200 Equaterian
Di sebuah ruangan yang begitu luas, terdapat sebuah meja melingkar di tengahnya, dengan gambar Ho-Oh, Pokemon burung berbulu pelangi terlukis di atasnya. Ada delapan kursi yang tertambat di meja. Tujuh kursi tampak berdekatan satu sama lain, sementara satu kursi berada jauh, di seberang lokasi ketujuh kursi. Di tujuh kursi, tampak diisi orang-orang dewasa yang masing-masing memakai jubah besar bertudung. Warna jubah tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang bila disatukan membentuk warna pelangi. Sementara pada satu kursi yang terpisah, duduk seorang anak laki-laki berambut hitam dengan mantel cokelat yang menutupi tubuhnya dari leher hingga kaki. Anak itu tampak menatap ketujuh orang berjubah di depannya dengan tatapan ingin tahu, dan rasa takut.
“Jadi anak ini yang dimaksud Kaisar?” tanya salah seorang berjubah merah, yang duduk di antara keenam sosok berjubah lainnya. “Berapa umurnya?” lelaki itu membuka sebuah file yang ada di depannya perlahan. Setelah membacanya beberapa detik, dia menatap anak bermantel cokelat melalui tudung yang menutupi sebagian wajahnya. “Masih 12 tahun. Aku tidak percaya Kaisar bisa memercayakan nasib Equater di tangan anak ini.”
“Dia kepercayaan Kaisar, dia sudah dianggap anak Kaisar sendiri,” kata sosok berjubah lainnya, warna kuning. “Kaisar menghabiskan banyak waktu bersamanya sejak pertempuran di Mega Desert. Selain itu di umurnya sekarang, dia sudah menyandang Ace Trainer. Dia yang tersisa dari garis keluarganya.”
“Wow. Hebat sekali,” sahut lelaki berjubah merah sinis. Dia lantas berdiri dan memandang tajam ke arah anak itu. Mendapat tatapan itu, anak bermantel merasa bingung dan menunduk. “Lalu apa yang akan kita lakukan pada anak ini?” tanyanya seraya melihat ke kanan dan kirinya.
“Dia akan menjaga pusaka Equater, hingga waktunya tiba,” jelas seorang berjubah biru, di ujung barisan kursi. Sosok itu bersuarakan perempuan.
“Begitukah? Hmm,” lelaki berjubah merah tampak berpikir. “Apa kalian yakin menyerahkan pusaka peninggalan Kaisar pada anak ini? Equater terlalu besar untuk bocah ini,” tegasnya.
“Tapi itu yang diwasiatkan Kaisar. Apa kamu mau mengingkarinya?” seorang berjubah hijau bangkit dari duduknya dan melihat ke arah lelaki berjubah merah. “Permintaan Kaisar pun sudah divalidasi oleh kita semua disini. Tanpa ada satu sanggahan apapun,” sambungnya.
Suasana tiba-tiba hening. Tak ada yang bersuara di antara orang-orang berjubah pelangi tersebut. Lelaki berjubah hijau lantas kembali duduk, disusul lelaki berjubah merah. Suasana hening itu berlangsung selama beberapa detik, hingga anak bermantel cokelat tiba-tiba berdiri. Sontak ketujuh orang di depannya langsung memandang pada anak itu.
“Jelaskan padaku, ada apa ini?” tanya sang anak. “Aku di sini bukan untuk omong kosong.”
Untuk beberapa saat, para sosok berjubah tampak terkejut mendapati perubahan sikap anak bermantel yang sebelumnya diam saja. Lelaki bejubah merah lantas kembali berdiri dan melihat anak itu. “Kamu di sini untuk suatu alasan. Dan itu bukan omong kosong.”
“Lantas apa?”
Lelaki berjubah merah menghela napas, lalu duduk kembali kursinya. “Duduklah Nak, kita sedang membicarakan tentang masa depan tanah kita.” Mendengar itu, anak bermantel langsung duduk. Lelaki berjubah merah tersenyum dan membuka tudung yang menutupi kepalanya. “Siapa namamu Nak?” tanya lelaki itu.
Anak bermantel tampak bingung. Dia tampak ragu, namun akhirnya menjawab, “Namaku…. Namaku adalah…”
*
Di sebuah ruangan yang begitu luas, terdapat sebuah meja melingkar di tengahnya, dengan gambar Ho-Oh, Pokemon burung berbulu pelangi terlukis di atasnya. Ada delapan kursi yang tertambat di meja. Tujuh kursi tampak berdekatan satu sama lain, sementara satu kursi berada jauh, di seberang lokasi ketujuh kursi. Di tujuh kursi, tampak diisi orang-orang dewasa yang masing-masing memakai jubah besar bertudung. Warna jubah tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya, yang bila disatukan membentuk warna pelangi. Sementara pada satu kursi yang terpisah, duduk seorang anak laki-laki berambut hitam dengan mantel cokelat yang menutupi tubuhnya dari leher hingga kaki. Anak itu tampak menatap ketujuh orang berjubah di depannya dengan tatapan ingin tahu, dan rasa takut.
“Jadi anak ini yang dimaksud Kaisar?” tanya salah seorang berjubah merah, yang duduk di antara keenam sosok berjubah lainnya. “Berapa umurnya?” lelaki itu membuka sebuah file yang ada di depannya perlahan. Setelah membacanya beberapa detik, dia menatap anak bermantel cokelat melalui tudung yang menutupi sebagian wajahnya. “Masih 12 tahun. Aku tidak percaya Kaisar bisa memercayakan nasib Equater di tangan anak ini.”
“Dia kepercayaan Kaisar, dia sudah dianggap anak Kaisar sendiri,” kata sosok berjubah lainnya, warna kuning. “Kaisar menghabiskan banyak waktu bersamanya sejak pertempuran di Mega Desert. Selain itu di umurnya sekarang, dia sudah menyandang Ace Trainer. Dia yang tersisa dari garis keluarganya.”
“Wow. Hebat sekali,” sahut lelaki berjubah merah sinis. Dia lantas berdiri dan memandang tajam ke arah anak itu. Mendapat tatapan itu, anak bermantel merasa bingung dan menunduk. “Lalu apa yang akan kita lakukan pada anak ini?” tanyanya seraya melihat ke kanan dan kirinya.
“Dia akan menjaga pusaka Equater, hingga waktunya tiba,” jelas seorang berjubah biru, di ujung barisan kursi. Sosok itu bersuarakan perempuan.
“Begitukah? Hmm,” lelaki berjubah merah tampak berpikir. “Apa kalian yakin menyerahkan pusaka peninggalan Kaisar pada anak ini? Equater terlalu besar untuk bocah ini,” tegasnya.
“Tapi itu yang diwasiatkan Kaisar. Apa kamu mau mengingkarinya?” seorang berjubah hijau bangkit dari duduknya dan melihat ke arah lelaki berjubah merah. “Permintaan Kaisar pun sudah divalidasi oleh kita semua disini. Tanpa ada satu sanggahan apapun,” sambungnya.
Suasana tiba-tiba hening. Tak ada yang bersuara di antara orang-orang berjubah pelangi tersebut. Lelaki berjubah hijau lantas kembali duduk, disusul lelaki berjubah merah. Suasana hening itu berlangsung selama beberapa detik, hingga anak bermantel cokelat tiba-tiba berdiri. Sontak ketujuh orang di depannya langsung memandang pada anak itu.
“Jelaskan padaku, ada apa ini?” tanya sang anak. “Aku di sini bukan untuk omong kosong.”
Untuk beberapa saat, para sosok berjubah tampak terkejut mendapati perubahan sikap anak bermantel yang sebelumnya diam saja. Lelaki bejubah merah lantas kembali berdiri dan melihat anak itu. “Kamu di sini untuk suatu alasan. Dan itu bukan omong kosong.”
“Lantas apa?”
Lelaki berjubah merah menghela napas, lalu duduk kembali kursinya. “Duduklah Nak, kita sedang membicarakan tentang masa depan tanah kita.” Mendengar itu, anak bermantel langsung duduk. Lelaki berjubah merah tersenyum dan membuka tudung yang menutupi kepalanya. “Siapa namamu Nak?” tanya lelaki itu.
Anak bermantel tampak bingung. Dia tampak ragu, namun akhirnya menjawab, “Namaku…. Namaku adalah…”
*
13 Tahun Kemudian, Tahun 213 Equaterian
“DILDUL!!!”
Sebuah teriakan membelah siang di Flown Town, sebuah kota kecil di bagian selatan benua besar Equater. Seorang anak perempuan dengan rambut dikuncir satu, berbaju ungu tampak berlari di tengah pasar. Anak itu membawa seikat bunga. Di sampingnya ikut berlari menemaninya seekor Shinx yang tampak menikmati berlari bersama anak perempuan itu. Beberapa meter di belakang mereka, seorang perempuan gemuk mengejar dengan sepatu ijuk teracung ke atas. Mereka kemudian keluar dari pasar, namun perempuan gemuk tetap mengejar.
“Ayo Furasshu, terus berlari. Jangan sampai Bu Broto menangkap kita!” teriak anak perempuan itu. Dia menoleh ke belakang, tampak ibu gemuk masih mengejarnya. “Wah. Bu Broto masih mengejar! Ayo Furasshu kita…”
BRAK!
Anak perempuan itu terjatuh. Dia menabrak sesuatu. Langsung saja dia mendongak ke atas, tampak seorang lelaki berdiri di depannya dengan tatapan melihat ke bawah, ke arahnya.
“Oyo….”
“Dil, mau sampai kapan kamu seperti ini terus?” tanya lelaki itu pada anak perempuan yang terjatuh di depannya. Anak perempuan berumur 13 tahun itu bernama Dil.
Tak lama, perempuan gemuk yang dipanggil Bu Broto berhasil menyusul Dil dan berhenti di belakangnya. Dia sekilas melihat Dil yang terduduk, lalu beralih melihat ke arah lelaki yang ditabrak Dil. “Livan, kamu itu becus mendidik adik kamu gak sih? Ini sudah kesekian kalinya dia mengambil bunga Gracidea daganganku,” gerutu Bu Broto ke arah lelaki yang dipanggilnya Livan.
“Maafkan adik saya Bu Broto, dia memang nakal. Saya akan memarahinya. Saya berjanji ini terakhir kalinya dia mengambil Gracidea milik ibu,” jawab Livan. Dia lalu merogoh sakunya , mengambil beberapa lembar uang kertas seraya mengulurkannya pada Bu Broto. “Biar saya bayar bunga yang diambil Dil,” kata Livan.
Bu Broto langsung mengambil uang yang diberikan Livan dan melengos. “Didik adikmu itu dengan benar. Awas kalau dia kembali berbuat ulah,” sungutnya seraya pergi begitu saja.
Livan terdiam. Dia lalu membungkuk, melihat Dil yang masih terduduk dengan wajah terpalingkan. “Kenapa kamu masih saja nekat mengambil Gracidea Bu Broto? Apa kamu gak capek dikejar-kejar terus sama dia?” cecar Livan.
“Bu Broto itu orangnya jahat dan judes Kak. Aku cuma mau memberinya pelajaran. Kenapa Kakak justru membayar Gracideanya?” jawab Dil kesal.
“Sejahat-jahatnya orang lain, bukan alasan untuk ikut berbuat jahat padanya. Kalau seperti itu, apa bedanya kamu dengan Bu Broto?” sahut Livan. Dil terdiam. Livan lantas meneruskan ucapannya, “Lagipula, kenapa kamu mencurin Gracidea bila kamu bisa meminta pada Kakak?”
Dil tidak serta merta menjawab. Livan tersenyum simpul melihatnya, lalu berbalik membelakanginya, seakan hendak meninggalkannya. Saat itulah Dil menjawab, “Aku tidak enak bila harus terus meminta pada Kakak. Hanya Gracieda itu yang bisa mengingatkanku pada ibu, yang aku bahkan tidak pernah mengenalnya atau bahkan melihatnya.” Terdengar nada sedih dalam ucapan Dil. “Dengan bunga itu, aku merasa dekat dengan ibu. Aku merasa nyaman.”
Livan terdiam. Dia tahu adiknya akan memberikan jawaban itu. Sejak bayi, dia sudah ditinggal mati kedua orangtuanya. Sejak itu Livan merawatnya hingga saat ini.
Suatu ketika, saat Livan mengajaknya ke pasar, Dil tertarik dengan Gracidea yang dijual disana. Livan pun membelikannya beberapa ikat. Sejak saat itu Dil menggemari Gracidea, sekadar dipasangnya di meja belajarnya atau digunakannya untuk bermain dengan Shink miliknya. Kata Dil, berada di dekat Gracidea membuatnya merasa nyaman, seperti ada yang memeluk. Karena itu, Dil meyakini pelukan itu adalah pelukan ibunya, yang meninggal saat melahirkannya.
Livan menyadari apa yang dirasakan Dil sebagai suatu kerinduan akan kasih sayang orangtua. Karena itu, Dia lantas mencoba menanam Gracidea di lahannya. Namun sayang, Gracidea tidak dapat tumbuh di lahannya. Meski begitu Livan sering membawakan Gracidea sepulangnya dari bepergian, yang membuat Dil sangat bahagia. Namun dalam beberapa bulan terakhir ini, Livan tidak bepergian keluar kota, sehingga tidak ada Gracidea yang dibawakannya untuk Dil. Karena itu, Dil lantas kerap mengambilnya dari Bu Broto, penjual Gracidea di pasar Flown Town yang terkenal bengis, tanpa sepengetahuannya.
“Lain kali kamu bilang saja pada Kakak kalau kamu mau Gracidea. Tidak usah sungkan, kita kan saudara. Kakak pasti akan membelikanmu Gracidea. Kamu tidak perlu mencuri. Bukankah sudah Kakak bilang kalau mencuri itu perbuatan tercela?” tutur Livan kemudian.
“Iya Kak, maafkan aku,” sahut Dil menyesal. “Aku tidak akan mengulanginya lagi. Iya kan Furasshu?” anak itu menoleh ke Shinx di sampingnya dan membelainya pelan. Furasshu adalah nama yang diberikan Dil pada Shinx pemberian sang kakak, dua tahun yang lalu.
Livan berbalik melihat Dil yang tengah akrab dengan Furasshu lantas berkata, “Baiklah kalau begitu, Kakak akan pulang sekarang. Sebenarnya Kakak tadi mencarimu karena ada yang ingin sampaikan kepada kamu.”
“Ada apa Kak?” tanya Dil.
Livan tampak berpikir. Permasalahan Gracidea membuatnya lupa apa yang akan disampaikannya. Namun akhirnya Livan mengingatnya. “Oh iya, tadi Rai-Chan datang ke rumah mencarimu. Katanya dia menunggumu di tempat kalian biasa bermain. Ada sesuatu yang mau dia katakan.”
“Oyo? Rai-Chan menungguku? Kenapa Kakak tidak bilang dari tadi?” seru Dil langsung bangkit berdiri.
“Well, kalau kamu tidak mencuri Gracidea, aku pasti sudah langsung mengatakan…”
“Ya udah Kak Livan, aku pergi dulu. Aku titip Gracideanya. Ayo Furasshu!” potong Dil. Dia memberikan Gracidea begitu saja ke Livan, dan langsung berlari meninggalkan Livan. Furasshu berlari mengikutinya dari belakang. Livan tersenyum melihat hal itu.
“Dil… Dil….”
*
“DILDUL!!!”
Sebuah teriakan membelah siang di Flown Town, sebuah kota kecil di bagian selatan benua besar Equater. Seorang anak perempuan dengan rambut dikuncir satu, berbaju ungu tampak berlari di tengah pasar. Anak itu membawa seikat bunga. Di sampingnya ikut berlari menemaninya seekor Shinx yang tampak menikmati berlari bersama anak perempuan itu. Beberapa meter di belakang mereka, seorang perempuan gemuk mengejar dengan sepatu ijuk teracung ke atas. Mereka kemudian keluar dari pasar, namun perempuan gemuk tetap mengejar.
“Ayo Furasshu, terus berlari. Jangan sampai Bu Broto menangkap kita!” teriak anak perempuan itu. Dia menoleh ke belakang, tampak ibu gemuk masih mengejarnya. “Wah. Bu Broto masih mengejar! Ayo Furasshu kita…”
BRAK!
Anak perempuan itu terjatuh. Dia menabrak sesuatu. Langsung saja dia mendongak ke atas, tampak seorang lelaki berdiri di depannya dengan tatapan melihat ke bawah, ke arahnya.
“Oyo….”
“Dil, mau sampai kapan kamu seperti ini terus?” tanya lelaki itu pada anak perempuan yang terjatuh di depannya. Anak perempuan berumur 13 tahun itu bernama Dil.
Tak lama, perempuan gemuk yang dipanggil Bu Broto berhasil menyusul Dil dan berhenti di belakangnya. Dia sekilas melihat Dil yang terduduk, lalu beralih melihat ke arah lelaki yang ditabrak Dil. “Livan, kamu itu becus mendidik adik kamu gak sih? Ini sudah kesekian kalinya dia mengambil bunga Gracidea daganganku,” gerutu Bu Broto ke arah lelaki yang dipanggilnya Livan.
“Maafkan adik saya Bu Broto, dia memang nakal. Saya akan memarahinya. Saya berjanji ini terakhir kalinya dia mengambil Gracidea milik ibu,” jawab Livan. Dia lalu merogoh sakunya , mengambil beberapa lembar uang kertas seraya mengulurkannya pada Bu Broto. “Biar saya bayar bunga yang diambil Dil,” kata Livan.
Bu Broto langsung mengambil uang yang diberikan Livan dan melengos. “Didik adikmu itu dengan benar. Awas kalau dia kembali berbuat ulah,” sungutnya seraya pergi begitu saja.
Livan terdiam. Dia lalu membungkuk, melihat Dil yang masih terduduk dengan wajah terpalingkan. “Kenapa kamu masih saja nekat mengambil Gracidea Bu Broto? Apa kamu gak capek dikejar-kejar terus sama dia?” cecar Livan.
“Bu Broto itu orangnya jahat dan judes Kak. Aku cuma mau memberinya pelajaran. Kenapa Kakak justru membayar Gracideanya?” jawab Dil kesal.
“Sejahat-jahatnya orang lain, bukan alasan untuk ikut berbuat jahat padanya. Kalau seperti itu, apa bedanya kamu dengan Bu Broto?” sahut Livan. Dil terdiam. Livan lantas meneruskan ucapannya, “Lagipula, kenapa kamu mencurin Gracidea bila kamu bisa meminta pada Kakak?”
Dil tidak serta merta menjawab. Livan tersenyum simpul melihatnya, lalu berbalik membelakanginya, seakan hendak meninggalkannya. Saat itulah Dil menjawab, “Aku tidak enak bila harus terus meminta pada Kakak. Hanya Gracieda itu yang bisa mengingatkanku pada ibu, yang aku bahkan tidak pernah mengenalnya atau bahkan melihatnya.” Terdengar nada sedih dalam ucapan Dil. “Dengan bunga itu, aku merasa dekat dengan ibu. Aku merasa nyaman.”
Livan terdiam. Dia tahu adiknya akan memberikan jawaban itu. Sejak bayi, dia sudah ditinggal mati kedua orangtuanya. Sejak itu Livan merawatnya hingga saat ini.
Suatu ketika, saat Livan mengajaknya ke pasar, Dil tertarik dengan Gracidea yang dijual disana. Livan pun membelikannya beberapa ikat. Sejak saat itu Dil menggemari Gracidea, sekadar dipasangnya di meja belajarnya atau digunakannya untuk bermain dengan Shink miliknya. Kata Dil, berada di dekat Gracidea membuatnya merasa nyaman, seperti ada yang memeluk. Karena itu, Dil meyakini pelukan itu adalah pelukan ibunya, yang meninggal saat melahirkannya.
Livan menyadari apa yang dirasakan Dil sebagai suatu kerinduan akan kasih sayang orangtua. Karena itu, Dia lantas mencoba menanam Gracidea di lahannya. Namun sayang, Gracidea tidak dapat tumbuh di lahannya. Meski begitu Livan sering membawakan Gracidea sepulangnya dari bepergian, yang membuat Dil sangat bahagia. Namun dalam beberapa bulan terakhir ini, Livan tidak bepergian keluar kota, sehingga tidak ada Gracidea yang dibawakannya untuk Dil. Karena itu, Dil lantas kerap mengambilnya dari Bu Broto, penjual Gracidea di pasar Flown Town yang terkenal bengis, tanpa sepengetahuannya.
“Lain kali kamu bilang saja pada Kakak kalau kamu mau Gracidea. Tidak usah sungkan, kita kan saudara. Kakak pasti akan membelikanmu Gracidea. Kamu tidak perlu mencuri. Bukankah sudah Kakak bilang kalau mencuri itu perbuatan tercela?” tutur Livan kemudian.
“Iya Kak, maafkan aku,” sahut Dil menyesal. “Aku tidak akan mengulanginya lagi. Iya kan Furasshu?” anak itu menoleh ke Shinx di sampingnya dan membelainya pelan. Furasshu adalah nama yang diberikan Dil pada Shinx pemberian sang kakak, dua tahun yang lalu.
Livan berbalik melihat Dil yang tengah akrab dengan Furasshu lantas berkata, “Baiklah kalau begitu, Kakak akan pulang sekarang. Sebenarnya Kakak tadi mencarimu karena ada yang ingin sampaikan kepada kamu.”
“Ada apa Kak?” tanya Dil.
Livan tampak berpikir. Permasalahan Gracidea membuatnya lupa apa yang akan disampaikannya. Namun akhirnya Livan mengingatnya. “Oh iya, tadi Rai-Chan datang ke rumah mencarimu. Katanya dia menunggumu di tempat kalian biasa bermain. Ada sesuatu yang mau dia katakan.”
“Oyo? Rai-Chan menungguku? Kenapa Kakak tidak bilang dari tadi?” seru Dil langsung bangkit berdiri.
“Well, kalau kamu tidak mencuri Gracidea, aku pasti sudah langsung mengatakan…”
“Ya udah Kak Livan, aku pergi dulu. Aku titip Gracideanya. Ayo Furasshu!” potong Dil. Dia memberikan Gracidea begitu saja ke Livan, dan langsung berlari meninggalkan Livan. Furasshu berlari mengikutinya dari belakang. Livan tersenyum melihat hal itu.
“Dil… Dil….”
*
Dil tiba di Flown Museum. Tapi dia tidak masuk ke dalam satu-satunya museum di Equater tersebut. Melainkan bergerak ke belakang bangunan museum. Di sana tampak sebuah padang rumput kecil dengan beberapa batu tersusun rapi. Tampak duduk di sana, seorang anak perempuan cantik berambut hitam panjang dengan baju merah muda duduk di atas batu paling besar, bersama Magnemite melayang di samping kepalanya.
“Rai-Chan! Maaf membuatmu menunggu,” teriak Dil. Anak perempuan yang disapanya langsung menoleh dan tersenyum lebar melihat kedatangan Dil.
“Dil! Lama sekali aku menunggumu di sini,” sahut Rai Zone, anak perempuan itu. “Kenapa kamu lama sekali? Apa Kak Livan tidak menyampaikan pesanku padamu?”
“Soal itu…. Umm… ya tadi aku sedikit ada halangan di jalan,” jawab Dil mencoba mencari alasan yang tepat.
“Jangan bilang kalau kamu membuat Bu Broto kesal lagi,” terka Rai.
“Ya seperti itulah. Hahaha!” Dil tampak salah tingkah.
“Ini.” Rai mengulurkan seikat bunga ke arah Dil. Dil melihatnya tak percaya. Gracidea. “Aku tahu kamu mencari ini. Karena itu aku membawakannya untukmu,” kata Rai tersenyum manis.
“Oyo! Terima kasih banyak Rai-Chan! Kamu memang sahabatku yang nomor satu!” seru Dil tampak senang. Diambilnya bunga itu dari tangan Rai, namun tangannya berhenti bergerak ketika melihat tangan Rai. Penuh luka. “Rai? Kamu dipukuli lagi?” tanyanya melihat luka-luka dan bekas lebam di tangan sahabatnya itu.
“Ah tidak kok, ini gara-gara terjatuh. Aku tadi tidak sengaja terpeleset dalam perjalanan ke sini,” jawab Rai cepat. Namun ekspresi gadis itu tampak menyembunyikan sesuatu.
“Kamu tidak bisa membohongiku Rai. Apa Kak Okta berlaku kasar lagi padamu?” tanya Dil ingin tahu.
“Tidak! Itu tidak benar. Kak Okta sangat baik. Dia tidak melakukannya,” sanggah Rai terlihat tak senang. “Kumohon jangan bahas hal ini. Aku tidak suka.”
Wajah Dil berubah cemberut. “Baiklah. Kalian memang keluarga yang aneh,” gerutunya. “Kalau begitu apa yang mau kamu sampaikan padaku?”
Rai menunduk terdiam. Dia tampak ragu. Lalu dia memandang wajah Dil.
“Oyo? Ada apa?” tanya Dil tak sabar.
“Dil, aku ingin pamit. Setelah ini aku akan pergi,” Rai menjawab pelan.
“Pergi? Pergi kemana?” Dil bertanya lagi.
“Pergi berpetualang, menjadi Pokemon trainer.”
“Pokemon…. Apa?”
Rai berdiri. Dia mengeluarkan benda persegi panjang berwarna merah dari sakunya dan menjawab, “Pokemon trainer, sebutan bagi pelatih Pokemon. Orang yang berpetualang melatih Pokemonnya hingga kuat, dan menantang Pokemon League. Dengan dibantu alat ini, PokeDex.”
“Pokemon… League?” Dil tampak bingung.
Rai mengangguk. Dia mamandang Dil dengan tatapan tajam. “Pokemon League… Liga Pokemon. Tantangan terbesar yang harus dihadapi Pokemon Trainer bila dia ingin menjadi Champion, Pokemon Trainer terkuat di negeri Equater.”
“Hmm…” Dil tampak berpikir. “Lalu?” tanyanya penuh tanda tanya. Sepertinya dia belum memahami perkataan Rai. Dia berpikir kembali, mencoba mencerna lagi kata-kata sahabatnya itu. “Kamu akan jadi Pokemon Trainer, berpetualang, menantang League… Maksudmu kamu akan pergi dari kota ini?” tanya Dil dengan raut wajah yang langsung berubah.
Rai mengangguk. “Iya Dil. Aku akan pergi dengan Kak Okta. Ini sudah menjadi tradisi keluarga Zone, untuk mengasah kemampuan mereka melatih Pokemon.”
“Ta… tapi Rai… kita kan…” Dil kembali bingung. “Kita kan sahabat. Berarti aku tidak bisa bermain lagi denganmu?”
“Keluarga Zone baru boleh kembali ke rumah bila dia sudah memegang peringkat Top. Jadi selama aku belum menjadi Top Trainer, aku belum bisa kembali ke Flown Town.”
“Top Trainer…. Apa lagi i…”
“Dil.” Rai memotong. Dia memandang Dil dengan serius. “Aku akan pergi. Mungkin ini pertemuan terakhir kita. Semoga kita bisa bertemu kembali,” sambungnya.
“Tapi Rai, kita kan….”
“Tidak apa-apa Dil, kita tetap teman kok,” sela Rai tersenyum tipis. “Maafkan aku ya. Sampai jumpa lagi Dil.” Rai langsung berbalik menjauhi Dil.
Melihat itu Dil langsung berlari mengejar Rai. “Tunggu Rai,” panggilnya. Rai menoleh. Dil lantas berkata, “Aku tidak paham dengan Pokemon Trainer yang kamu katakan tadi. Tapi aku tahu kamu akan pergi. Aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Kita berteman sudah sangat lama, sejak kita masih kecil. Bila saat ini kita harus berpisah, aku tidak bisa mencegahnya.”
Dil terdiam sejenak. Dia tidak tahu harus berkata apa. Air mata menetes di pelupuk matanya, mengalir jatuh ke pipinya. Rai melihatnya dengan sedih, namun Rai berusaha menyembunyikan perasaannya. Gadis anggun berambut hitam panjang itu memaksakan sebuah senyum.
“Hati-hati Rai,” kata Dil kemudian. “Jaga diri baik-baik. Aku menunggumu di sini, sampai kamu kembali nanti.” Dil tersenyum. Dia lalu berbalik membelakangi Rai, tak kuasa menahan diri. Dia menangis, tapi dia tak mau sahabatnya melihatnya menangis.
“Terima kasih Dil. Aku tidak akan melupakan persahabatan kita, sampai kita bertemu kembali,” jawab Rai. Dia tersenyum simpul, kemudian pergi perlahan meninggalkan Dil. Langkahnya tampak berat.
Sementara Dil, dia menangis dalam diam. Air mata lantas jatuh menetes, membasahi Gracidea pemberian Rai yang digenggamnya. Serta merta ingatan tentang masa-masa indahnya bersama Rai, ketika mereka bermain bersama muncul di benaknya. Membuat air mata Dil semakin deras, dan dia mulai menangis keras.
*
“Rai-Chan! Maaf membuatmu menunggu,” teriak Dil. Anak perempuan yang disapanya langsung menoleh dan tersenyum lebar melihat kedatangan Dil.
“Dil! Lama sekali aku menunggumu di sini,” sahut Rai Zone, anak perempuan itu. “Kenapa kamu lama sekali? Apa Kak Livan tidak menyampaikan pesanku padamu?”
“Soal itu…. Umm… ya tadi aku sedikit ada halangan di jalan,” jawab Dil mencoba mencari alasan yang tepat.
“Jangan bilang kalau kamu membuat Bu Broto kesal lagi,” terka Rai.
“Ya seperti itulah. Hahaha!” Dil tampak salah tingkah.
“Ini.” Rai mengulurkan seikat bunga ke arah Dil. Dil melihatnya tak percaya. Gracidea. “Aku tahu kamu mencari ini. Karena itu aku membawakannya untukmu,” kata Rai tersenyum manis.
“Oyo! Terima kasih banyak Rai-Chan! Kamu memang sahabatku yang nomor satu!” seru Dil tampak senang. Diambilnya bunga itu dari tangan Rai, namun tangannya berhenti bergerak ketika melihat tangan Rai. Penuh luka. “Rai? Kamu dipukuli lagi?” tanyanya melihat luka-luka dan bekas lebam di tangan sahabatnya itu.
“Ah tidak kok, ini gara-gara terjatuh. Aku tadi tidak sengaja terpeleset dalam perjalanan ke sini,” jawab Rai cepat. Namun ekspresi gadis itu tampak menyembunyikan sesuatu.
“Kamu tidak bisa membohongiku Rai. Apa Kak Okta berlaku kasar lagi padamu?” tanya Dil ingin tahu.
“Tidak! Itu tidak benar. Kak Okta sangat baik. Dia tidak melakukannya,” sanggah Rai terlihat tak senang. “Kumohon jangan bahas hal ini. Aku tidak suka.”
Wajah Dil berubah cemberut. “Baiklah. Kalian memang keluarga yang aneh,” gerutunya. “Kalau begitu apa yang mau kamu sampaikan padaku?”
Rai menunduk terdiam. Dia tampak ragu. Lalu dia memandang wajah Dil.
“Oyo? Ada apa?” tanya Dil tak sabar.
“Dil, aku ingin pamit. Setelah ini aku akan pergi,” Rai menjawab pelan.
“Pergi? Pergi kemana?” Dil bertanya lagi.
“Pergi berpetualang, menjadi Pokemon trainer.”
“Pokemon…. Apa?”
Rai berdiri. Dia mengeluarkan benda persegi panjang berwarna merah dari sakunya dan menjawab, “Pokemon trainer, sebutan bagi pelatih Pokemon. Orang yang berpetualang melatih Pokemonnya hingga kuat, dan menantang Pokemon League. Dengan dibantu alat ini, PokeDex.”
“Pokemon… League?” Dil tampak bingung.
Rai mengangguk. Dia mamandang Dil dengan tatapan tajam. “Pokemon League… Liga Pokemon. Tantangan terbesar yang harus dihadapi Pokemon Trainer bila dia ingin menjadi Champion, Pokemon Trainer terkuat di negeri Equater.”
“Hmm…” Dil tampak berpikir. “Lalu?” tanyanya penuh tanda tanya. Sepertinya dia belum memahami perkataan Rai. Dia berpikir kembali, mencoba mencerna lagi kata-kata sahabatnya itu. “Kamu akan jadi Pokemon Trainer, berpetualang, menantang League… Maksudmu kamu akan pergi dari kota ini?” tanya Dil dengan raut wajah yang langsung berubah.
Rai mengangguk. “Iya Dil. Aku akan pergi dengan Kak Okta. Ini sudah menjadi tradisi keluarga Zone, untuk mengasah kemampuan mereka melatih Pokemon.”
“Ta… tapi Rai… kita kan…” Dil kembali bingung. “Kita kan sahabat. Berarti aku tidak bisa bermain lagi denganmu?”
“Keluarga Zone baru boleh kembali ke rumah bila dia sudah memegang peringkat Top. Jadi selama aku belum menjadi Top Trainer, aku belum bisa kembali ke Flown Town.”
“Top Trainer…. Apa lagi i…”
“Dil.” Rai memotong. Dia memandang Dil dengan serius. “Aku akan pergi. Mungkin ini pertemuan terakhir kita. Semoga kita bisa bertemu kembali,” sambungnya.
“Tapi Rai, kita kan….”
“Tidak apa-apa Dil, kita tetap teman kok,” sela Rai tersenyum tipis. “Maafkan aku ya. Sampai jumpa lagi Dil.” Rai langsung berbalik menjauhi Dil.
Melihat itu Dil langsung berlari mengejar Rai. “Tunggu Rai,” panggilnya. Rai menoleh. Dil lantas berkata, “Aku tidak paham dengan Pokemon Trainer yang kamu katakan tadi. Tapi aku tahu kamu akan pergi. Aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Kita berteman sudah sangat lama, sejak kita masih kecil. Bila saat ini kita harus berpisah, aku tidak bisa mencegahnya.”
Dil terdiam sejenak. Dia tidak tahu harus berkata apa. Air mata menetes di pelupuk matanya, mengalir jatuh ke pipinya. Rai melihatnya dengan sedih, namun Rai berusaha menyembunyikan perasaannya. Gadis anggun berambut hitam panjang itu memaksakan sebuah senyum.
“Hati-hati Rai,” kata Dil kemudian. “Jaga diri baik-baik. Aku menunggumu di sini, sampai kamu kembali nanti.” Dil tersenyum. Dia lalu berbalik membelakangi Rai, tak kuasa menahan diri. Dia menangis, tapi dia tak mau sahabatnya melihatnya menangis.
“Terima kasih Dil. Aku tidak akan melupakan persahabatan kita, sampai kita bertemu kembali,” jawab Rai. Dia tersenyum simpul, kemudian pergi perlahan meninggalkan Dil. Langkahnya tampak berat.
Sementara Dil, dia menangis dalam diam. Air mata lantas jatuh menetes, membasahi Gracidea pemberian Rai yang digenggamnya. Serta merta ingatan tentang masa-masa indahnya bersama Rai, ketika mereka bermain bersama muncul di benaknya. Membuat air mata Dil semakin deras, dan dia mulai menangis keras.
*
Dil duduk murung di tepi kebun Apricorn milik kakaknya. Furasshu, Shinx miliknya setia mendampingi di sampingnya. Dia menatap kosong ke kejauhan, dan terlihat tak bersemangat. Kepergian Rai, sahabatnya sangat membuatnya sedih. Dia tidak tahu harus berteman dan bermain dengan siapa lagi.
Anak-anak Flown Town tidak mau berteman dengannya. Mereka menganggap Dil anak yang aneh karena tidak memiliki ayah dan ibu. Hal ini membuatnya sedih, dan mengubahnya menjadi anak nakal yang suka berbuat jahil di kota. Namun begitu, rupanya masih ada anak di yang mau berteman dengannya. Dia adalah Rai Zone, dari keluarga Zone. Rai bahkan merelakan dirinya dijauhi anak-anak lain hanya demi bisa berteman dengan Dil. Mereka mulai berteman sejak berumur 7 tahun.
Dil dan Rai berteman sangat akrab. Persahabatan keduanya bahkan begitu dikenal di kota. Hal ini dikarenakan sifat keduanya yang saling berlawanan. Dil dikenal tomboy dan urakan, sementara Rai dikenal kalem dan feminim. Saking akrabnya, muncul ungkapan yang beredar di penduduk kota, bahwa dimana ada Dil, disitu ada Rai. Demikian pula sebaliknya. Namun sebenarnya, selain Rai, terdapat satu anak lagi yang mau berteman dengan Dil. Anak itu adalah…
“Dildul!” teriak seseorang memanggil Dil. Dildul adalah nama panggilan untuk Dil begitu dikenali penduduk kota. Panggilan itu muncul akibat ulah jahilnya.
Dil menoleh, dan melihat seorang pemuda berambut cokelat tua panjang seleher di depan rumahnya. Seekor Pidgeotto tampak bertengger di bahunya. “Ada yang ingin kutunjukkan padamu,” kata anak itu mendekati tempat duduk Dil.
Dia lalu mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya yang berinisialkan huruf N. “TARA!!!” anak itu menunjukkan bungkusan berwarna hijau, dengan gambar bebek tertera di atasnya, senada dengan gambar di baju Dil. “Snack kesukaanmu, biskuit sosis kesukaanmu… So-Toy!” seru anak itu.
Dia melihat bungkusan itu sekilas, lalu kembali memandang padang Apricorn di depannya. “Maaf Kak Neo, tapi aku sedang tidak ingin memakan So-Toy,” jawab Dil datar.
Melihat hal itu, pemuda yang dipanggil Neo itu menjadi heran. Tidak biasanya Dil bersikap seperti itu, batinnya. Biasanya, Dil akan langsung merampas kemasan So-Toy dari tangannya, dan langsung bersorak girang. Segera saja kepingan biskuit sosis di dalam bungkusan dilahapnya habis, dan hadiah mainan yang ada di dalam bungkusan langsung diambilnya. Namun tidak hari ini, Dil bahkan sama sekali tidak menyentuh kemasan So-Toy yang ditawarkannya.
Neo Xys, nama lengkap anak berambut cokelat bermata biru itu. Umurnya 17 tahun. Awalnya, Neo sama dengan anak-anak lain di Flown Town, turut membenci Dil. Hingga suatu ketika, Dil menolong Ashe, Pidgey miliknya dari serangan kawanan Fletchinder. Sejak saat itu Neo berutang budi pada Dil, dan dia mulai berteman dengannya.
“Eh? Tumben kamu menolak So-Toy, jajan kesukaanmu. Ini pertama kalinya kamu menolak So-Toy. Memangnya ada apa?” tanya Neo.
“Tidak apa-apa Kak Neo, aku hanya sedang tidak ingin makan. Itu saja. Kamu bisa memberikannya pada Furasshu,” jawab Dil sekenanya.
“Furasshu?” Neo tampak bingung. Dia lalu melihat Shinx yang duduk di samping Dil, seraya mengulurkan sekeping biskuit So-Toy. Namun Furasshu memalingkan wajah, tanda tidak mau. “Hmm… Furasshu pun sepertinya tidak mau, sama denganmu,” keluhnya. “Memangnya ada apa sih Dil? Kok kamu terlihat sedih,” tanyanya.
Dil terdiam termenung. Dia melihat pohon Apricorn terdekat dengannya, Red Apricorn, lalu menjawab, “Ini tentang Rai. Dia sudah pergi.”
“Rai-Chan pergi? Kemana?” tanya Neo kaget.
“Dia mengatakan sesuatu tentang Pokemon Trainer dan Pokemon League. Dia akan berpetualang seperti itu,” jawab Dil seadanya.
“Pokemon Trainer? Maksudnya Rai menjadi seorang Pokemon Trainer?” sahut Neo.
Dil mengangguk lemah. “Ya seperti itu mungkin…”
“Jadi begitu ya… Hmm…” Neo lalu terdiam. Sesuatu tampak mengganggu pikirannya. Ucapan Dil tentang Pokemon Trainer, mengingatkannya pada seseorang.
“Memangnya Pokemon Trainer itu apa sih Kak Neo?” tanya Dil ingin tahu.
Neo terdiam. Dia ikut memandangi kebun Apricorn di depannya. Tak lama, dia menjawab. “Pokemon Trainer itu…. Mereka yang berkeinginan dapat melatih Pokemon… untuk bertarung.”
“Oyo? Bertarung? Kenapa Pokemon digunakan untuk bertarung?” tanya Dil tak mengerti.
“Iya, selain menjadi teman dalam kehidupan kita, Pokemon juga digunakan untuk bertarung satu sama lain. Tugas seorang trainer adalah melatih Pokemon miliknya, untuk dapat memiliki kemampuan yang hebat. Kemampuan ini didapat melalui pertarungan demi pertarungan, baik dengan sesama trainer atau melawan Pokemon Liar,” papar Neo.
“Sementara Pokemon League adalah…” sambung Neo, “… adalah sarana ujian bagi Pokemon Trainer, untuk melihat apakah mereka telah melatih Pokemon mereka dengan baik. Gelar Champion adalah gelar bagi trainer terhebat, dan menjadi tujuan para Pokemon Trainer. Hadiahnya sangat menarik. Ini menandakan mereka dapat mengendalikan Pokemon, dan kemampuan ini akan bermanfaat bagi kehidupan mereka.”
“Oyo! Kedengarannya keren!” seru Dil. Sikapnya mendadak berubah antusias setelah mendengar penjelasan Neo. “Oh iya, Rai mengatakan kalau dia tidak akan kembali sebelum dia menjadi Top Trainer. Nah, apa itu Top Trainer?”
“Top Trainer? Hmm... Oh iya!” Neo memukulkan kepalan tangan kanannya pada telapak tangan kirinya. “Aku baru ingat, di Equater terdapat beberapa kelas atau peringkat trainer. Ya, Pokemon Trainer memiliki ranking. Top Trainer adalah salah satu peringkat itu.”
“Begitu ya… Rupanya ada banyak hal di dunia ini yang belum kuketahui. Termasuk mengenai Pokemon Trainer,” sahut Dil. “Apa dengan menjadi Pokemon Trainer, aku bisa bertemu dengan banyak Pokemon?” tanyanya kemudian.
Neo mengangguk. “Tentu saja. Namanya juga Pokemon Trainer, pasti akan melatih Pokemon,” jawab Neo.
“Termasuk Pokemon legenda?” tanya Dil lagi.
“Ummm…. Mungkin,” jawab Neo ragu. Pokemon legenda adalah Pokemon yang keberadaan misterius dan sering disebut dalam legenda dan cerita anak-anak. “Memangnya kenapa?” Neo balik bertanya.
Dil menggeleng. “Tidak ada apa-apa,” jawabnya. “Entah kenapa Pokemon Trainer ini membuatku tertarik. Aku jadi ingin mencoba…” Tiba-tiba Dil terdiam. Sesuatu tampak muncul di benaknya. “Hei! Kenapa aku tidak menjadi Pokemon Trainer saja, seperti yang dilakukan Rai?”
“He? Kamu mau menjadi trainer?” tanya Neo terkejut dengan ucapan Dil.
Dil mengangguk. “Iya. Aku ingin menjadi Pokemon Trainer. Kalau Rai-Chan saja bisa, kenapa aku tidak? Karena bila aku menjadi trainer, maka aku akan bisa bertemu dengan Rai!”
Usai mengatakan itu, Dil langsung menyambar snack So-Toy dari tangan Neo. Cepat saja tangannya mengambil kepingan-kepingan biskuit dan melahapnya rakus. Neo yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. “Sepertinya kamu tadi bilang kalau sedang tidak ingin makan So-Toy. Dasar aneh,” ledek Neo. Dil tak menghiraukannya dan terus melahap So-Toy pemberian Neo.
*
Anak-anak Flown Town tidak mau berteman dengannya. Mereka menganggap Dil anak yang aneh karena tidak memiliki ayah dan ibu. Hal ini membuatnya sedih, dan mengubahnya menjadi anak nakal yang suka berbuat jahil di kota. Namun begitu, rupanya masih ada anak di yang mau berteman dengannya. Dia adalah Rai Zone, dari keluarga Zone. Rai bahkan merelakan dirinya dijauhi anak-anak lain hanya demi bisa berteman dengan Dil. Mereka mulai berteman sejak berumur 7 tahun.
Dil dan Rai berteman sangat akrab. Persahabatan keduanya bahkan begitu dikenal di kota. Hal ini dikarenakan sifat keduanya yang saling berlawanan. Dil dikenal tomboy dan urakan, sementara Rai dikenal kalem dan feminim. Saking akrabnya, muncul ungkapan yang beredar di penduduk kota, bahwa dimana ada Dil, disitu ada Rai. Demikian pula sebaliknya. Namun sebenarnya, selain Rai, terdapat satu anak lagi yang mau berteman dengan Dil. Anak itu adalah…
“Dildul!” teriak seseorang memanggil Dil. Dildul adalah nama panggilan untuk Dil begitu dikenali penduduk kota. Panggilan itu muncul akibat ulah jahilnya.
Dil menoleh, dan melihat seorang pemuda berambut cokelat tua panjang seleher di depan rumahnya. Seekor Pidgeotto tampak bertengger di bahunya. “Ada yang ingin kutunjukkan padamu,” kata anak itu mendekati tempat duduk Dil.
Dia lalu mengeluarkan bungkusan dari saku bajunya yang berinisialkan huruf N. “TARA!!!” anak itu menunjukkan bungkusan berwarna hijau, dengan gambar bebek tertera di atasnya, senada dengan gambar di baju Dil. “Snack kesukaanmu, biskuit sosis kesukaanmu… So-Toy!” seru anak itu.
Dia melihat bungkusan itu sekilas, lalu kembali memandang padang Apricorn di depannya. “Maaf Kak Neo, tapi aku sedang tidak ingin memakan So-Toy,” jawab Dil datar.
Melihat hal itu, pemuda yang dipanggil Neo itu menjadi heran. Tidak biasanya Dil bersikap seperti itu, batinnya. Biasanya, Dil akan langsung merampas kemasan So-Toy dari tangannya, dan langsung bersorak girang. Segera saja kepingan biskuit sosis di dalam bungkusan dilahapnya habis, dan hadiah mainan yang ada di dalam bungkusan langsung diambilnya. Namun tidak hari ini, Dil bahkan sama sekali tidak menyentuh kemasan So-Toy yang ditawarkannya.
Neo Xys, nama lengkap anak berambut cokelat bermata biru itu. Umurnya 17 tahun. Awalnya, Neo sama dengan anak-anak lain di Flown Town, turut membenci Dil. Hingga suatu ketika, Dil menolong Ashe, Pidgey miliknya dari serangan kawanan Fletchinder. Sejak saat itu Neo berutang budi pada Dil, dan dia mulai berteman dengannya.
“Eh? Tumben kamu menolak So-Toy, jajan kesukaanmu. Ini pertama kalinya kamu menolak So-Toy. Memangnya ada apa?” tanya Neo.
“Tidak apa-apa Kak Neo, aku hanya sedang tidak ingin makan. Itu saja. Kamu bisa memberikannya pada Furasshu,” jawab Dil sekenanya.
“Furasshu?” Neo tampak bingung. Dia lalu melihat Shinx yang duduk di samping Dil, seraya mengulurkan sekeping biskuit So-Toy. Namun Furasshu memalingkan wajah, tanda tidak mau. “Hmm… Furasshu pun sepertinya tidak mau, sama denganmu,” keluhnya. “Memangnya ada apa sih Dil? Kok kamu terlihat sedih,” tanyanya.
Dil terdiam termenung. Dia melihat pohon Apricorn terdekat dengannya, Red Apricorn, lalu menjawab, “Ini tentang Rai. Dia sudah pergi.”
“Rai-Chan pergi? Kemana?” tanya Neo kaget.
“Dia mengatakan sesuatu tentang Pokemon Trainer dan Pokemon League. Dia akan berpetualang seperti itu,” jawab Dil seadanya.
“Pokemon Trainer? Maksudnya Rai menjadi seorang Pokemon Trainer?” sahut Neo.
Dil mengangguk lemah. “Ya seperti itu mungkin…”
“Jadi begitu ya… Hmm…” Neo lalu terdiam. Sesuatu tampak mengganggu pikirannya. Ucapan Dil tentang Pokemon Trainer, mengingatkannya pada seseorang.
“Memangnya Pokemon Trainer itu apa sih Kak Neo?” tanya Dil ingin tahu.
Neo terdiam. Dia ikut memandangi kebun Apricorn di depannya. Tak lama, dia menjawab. “Pokemon Trainer itu…. Mereka yang berkeinginan dapat melatih Pokemon… untuk bertarung.”
“Oyo? Bertarung? Kenapa Pokemon digunakan untuk bertarung?” tanya Dil tak mengerti.
“Iya, selain menjadi teman dalam kehidupan kita, Pokemon juga digunakan untuk bertarung satu sama lain. Tugas seorang trainer adalah melatih Pokemon miliknya, untuk dapat memiliki kemampuan yang hebat. Kemampuan ini didapat melalui pertarungan demi pertarungan, baik dengan sesama trainer atau melawan Pokemon Liar,” papar Neo.
“Sementara Pokemon League adalah…” sambung Neo, “… adalah sarana ujian bagi Pokemon Trainer, untuk melihat apakah mereka telah melatih Pokemon mereka dengan baik. Gelar Champion adalah gelar bagi trainer terhebat, dan menjadi tujuan para Pokemon Trainer. Hadiahnya sangat menarik. Ini menandakan mereka dapat mengendalikan Pokemon, dan kemampuan ini akan bermanfaat bagi kehidupan mereka.”
“Oyo! Kedengarannya keren!” seru Dil. Sikapnya mendadak berubah antusias setelah mendengar penjelasan Neo. “Oh iya, Rai mengatakan kalau dia tidak akan kembali sebelum dia menjadi Top Trainer. Nah, apa itu Top Trainer?”
“Top Trainer? Hmm... Oh iya!” Neo memukulkan kepalan tangan kanannya pada telapak tangan kirinya. “Aku baru ingat, di Equater terdapat beberapa kelas atau peringkat trainer. Ya, Pokemon Trainer memiliki ranking. Top Trainer adalah salah satu peringkat itu.”
“Begitu ya… Rupanya ada banyak hal di dunia ini yang belum kuketahui. Termasuk mengenai Pokemon Trainer,” sahut Dil. “Apa dengan menjadi Pokemon Trainer, aku bisa bertemu dengan banyak Pokemon?” tanyanya kemudian.
Neo mengangguk. “Tentu saja. Namanya juga Pokemon Trainer, pasti akan melatih Pokemon,” jawab Neo.
“Termasuk Pokemon legenda?” tanya Dil lagi.
“Ummm…. Mungkin,” jawab Neo ragu. Pokemon legenda adalah Pokemon yang keberadaan misterius dan sering disebut dalam legenda dan cerita anak-anak. “Memangnya kenapa?” Neo balik bertanya.
Dil menggeleng. “Tidak ada apa-apa,” jawabnya. “Entah kenapa Pokemon Trainer ini membuatku tertarik. Aku jadi ingin mencoba…” Tiba-tiba Dil terdiam. Sesuatu tampak muncul di benaknya. “Hei! Kenapa aku tidak menjadi Pokemon Trainer saja, seperti yang dilakukan Rai?”
“He? Kamu mau menjadi trainer?” tanya Neo terkejut dengan ucapan Dil.
Dil mengangguk. “Iya. Aku ingin menjadi Pokemon Trainer. Kalau Rai-Chan saja bisa, kenapa aku tidak? Karena bila aku menjadi trainer, maka aku akan bisa bertemu dengan Rai!”
Usai mengatakan itu, Dil langsung menyambar snack So-Toy dari tangan Neo. Cepat saja tangannya mengambil kepingan-kepingan biskuit dan melahapnya rakus. Neo yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. “Sepertinya kamu tadi bilang kalau sedang tidak ingin makan So-Toy. Dasar aneh,” ledek Neo. Dil tak menghiraukannya dan terus melahap So-Toy pemberian Neo.
*
Malamnya, Dil makan malam bersama Livan di ruang makan. Keduanya menyantap makanan favorit mereka, batagor. Saat itulah, di sela-sela mengunyah makanan, Dil menceritakan kepergian Rai menjadi Pokemon Trainer kepada Livan.
“Jadi Rai-Chan pergi bersama Okta?” tanya Livan. Dil mengangguk sambil menyuap batagor ke dalam mulutnya. “Kamu akan kesepian dong.”
Dil mengangguk lagi. Dia menelan batagornya habis dan berkata, “Ya, sekarang hanya tinggal Furasshu saja yang menemaniku… dan Kak Neo itu.” Dil meminum habis air putihnya, lalu bertanya, “Oh iya Kak, aku boleh tidak menjadi Pokemon Trainer?”
“Buat apa?”
“Ya… agar bisa seperti Rai. Aku ingin bisa bertemu dia,” jawab Dil sekenanya.
“Lebih baik kamu berada di kota ini. Aman dari segala ancaman. Apa kamu tidak tahu kalau di sana banyak Pokemon liar yang bisa menerkammu kapan saja?” sahut Livan panjang.
“Karena itulah Kak, aku ingin bisa menjadi seorang Pokemon Trainer yang hebat, yang bisa menjaga diri sendiri,” tukas Dil.
“Tapi itu akan membahayakan dirimu! Kakak tidak mau terjadi hal buruk padamu!” nada Livan mulai meninggi.
“Ka... Kakak....” Dil tergagap. Dia kaget mendengar suara kakaknya yang meninggi. “Ke... kenapa Rai boleh, sedangkan aku tidak...?” mata Dil tampak berkaca-kaca.
Melihat ekspresi adiknya, Livan tampak luluh. Tapi egonya terlalu tinggi, membuatnya meneruskan… “Sudahlah Dil. Kamu dan Rai berbeda. Rai dari keluarga Zone, keluarga petarung. Sementara kita ini keluarga Golnar, keluarga petani. Jadi tidak usah berharap melakukan hal yang bukan bagianmu. Lagipula kakak tidak akan mengizinkanmu pergi. Terlalu berbahaya bagi anak perempuan berumur 13 tahun bepergian seorang diri,” jawab Livan.
“Tapi Rai…”
“Dia pergi bersama kakaknya, Okta Zone, seorang Ace Trainer,” potong Livan. Nadanya terdengar ketus. “Okta banyak mengetahui bagaimana menjadi Pokemon Trainer. Dia bisa melindungi adiknya.”
“Aku tak masalah pergi dengan Furasshu saja! Aku bisa menjaga diriku sendiri!”
Jawaban keras dari Dil membuat Livan marah. Dipandanginya adiknya yang diam seribu bahasa. Dia bermaksud melanjutkan ucapannya, namun langsung diurungkannya ketika melihat mata adiknya itu berkaca-kaca.
“KAKAK JAHAT!”
“Tunggu Dil, Kakak tidak bermaksud…”
Belum sempat Livan melanjutkan perkataannya, Dil sudah bangkit dari tempat duduk dan berlari masuk ke dalam kamarnya.
BRAK! Pintu dibanting keras dan Dil langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, membenamkannya kepala di atas bantal. Dia menangis. Air mata jatuh bercucuran membahasi bantal.
“Kenapa… kenapa selalu saja seperti ini….” Isaknya.
Saat itulah Furasshu melompat ke atas kasur, dengan menggigit seuntai Gracidea. Seakan memahami perasaan Dil, Furasshu menunjukkan Gracidea di mulutnya itu ke arah Dil. Melihat hal itu, Dil lantas tersenyum.
“Terima kasih Furasshu… kamu memang benar-benar sahabatku,” ucap Dil sesengukan, seraya mengambil Gracidea dari mulut Furasshu.
“Nyaaa…” sahut Furasshu dengan suaranya.
Dil tersenyum dan menghapus air matanya. Dia lalu duduk, dan memeluk Pokemon kesayangannya itu erat. “Furasshu… kita memang bernasib sama,” ujarnya lirih. Dil lalu melihat ke arah lukisan yang terpajang di dinding kamarnya. Lukisan seekor Pokemon burung merah dengan sayap-sayap berwarna-warni. “Suatu hari nanti… kita pasti bisa bertemu Pokemon pelangi itu… Ho-Oh…”
*
“Jadi Rai-Chan pergi bersama Okta?” tanya Livan. Dil mengangguk sambil menyuap batagor ke dalam mulutnya. “Kamu akan kesepian dong.”
Dil mengangguk lagi. Dia menelan batagornya habis dan berkata, “Ya, sekarang hanya tinggal Furasshu saja yang menemaniku… dan Kak Neo itu.” Dil meminum habis air putihnya, lalu bertanya, “Oh iya Kak, aku boleh tidak menjadi Pokemon Trainer?”
“Buat apa?”
“Ya… agar bisa seperti Rai. Aku ingin bisa bertemu dia,” jawab Dil sekenanya.
“Lebih baik kamu berada di kota ini. Aman dari segala ancaman. Apa kamu tidak tahu kalau di sana banyak Pokemon liar yang bisa menerkammu kapan saja?” sahut Livan panjang.
“Karena itulah Kak, aku ingin bisa menjadi seorang Pokemon Trainer yang hebat, yang bisa menjaga diri sendiri,” tukas Dil.
“Tapi itu akan membahayakan dirimu! Kakak tidak mau terjadi hal buruk padamu!” nada Livan mulai meninggi.
“Ka... Kakak....” Dil tergagap. Dia kaget mendengar suara kakaknya yang meninggi. “Ke... kenapa Rai boleh, sedangkan aku tidak...?” mata Dil tampak berkaca-kaca.
Melihat ekspresi adiknya, Livan tampak luluh. Tapi egonya terlalu tinggi, membuatnya meneruskan… “Sudahlah Dil. Kamu dan Rai berbeda. Rai dari keluarga Zone, keluarga petarung. Sementara kita ini keluarga Golnar, keluarga petani. Jadi tidak usah berharap melakukan hal yang bukan bagianmu. Lagipula kakak tidak akan mengizinkanmu pergi. Terlalu berbahaya bagi anak perempuan berumur 13 tahun bepergian seorang diri,” jawab Livan.
“Tapi Rai…”
“Dia pergi bersama kakaknya, Okta Zone, seorang Ace Trainer,” potong Livan. Nadanya terdengar ketus. “Okta banyak mengetahui bagaimana menjadi Pokemon Trainer. Dia bisa melindungi adiknya.”
“Aku tak masalah pergi dengan Furasshu saja! Aku bisa menjaga diriku sendiri!”
Jawaban keras dari Dil membuat Livan marah. Dipandanginya adiknya yang diam seribu bahasa. Dia bermaksud melanjutkan ucapannya, namun langsung diurungkannya ketika melihat mata adiknya itu berkaca-kaca.
“KAKAK JAHAT!”
“Tunggu Dil, Kakak tidak bermaksud…”
Belum sempat Livan melanjutkan perkataannya, Dil sudah bangkit dari tempat duduk dan berlari masuk ke dalam kamarnya.
BRAK! Pintu dibanting keras dan Dil langsung menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, membenamkannya kepala di atas bantal. Dia menangis. Air mata jatuh bercucuran membahasi bantal.
“Kenapa… kenapa selalu saja seperti ini….” Isaknya.
Saat itulah Furasshu melompat ke atas kasur, dengan menggigit seuntai Gracidea. Seakan memahami perasaan Dil, Furasshu menunjukkan Gracidea di mulutnya itu ke arah Dil. Melihat hal itu, Dil lantas tersenyum.
“Terima kasih Furasshu… kamu memang benar-benar sahabatku,” ucap Dil sesengukan, seraya mengambil Gracidea dari mulut Furasshu.
“Nyaaa…” sahut Furasshu dengan suaranya.
Dil tersenyum dan menghapus air matanya. Dia lalu duduk, dan memeluk Pokemon kesayangannya itu erat. “Furasshu… kita memang bernasib sama,” ujarnya lirih. Dil lalu melihat ke arah lukisan yang terpajang di dinding kamarnya. Lukisan seekor Pokemon burung merah dengan sayap-sayap berwarna-warni. “Suatu hari nanti… kita pasti bisa bertemu Pokemon pelangi itu… Ho-Oh…”
*
Sementara itu, Livan tampak terbaring tak bisa tidur di kamarnya. Lelaki berusia 25 tahun ini merasa menyesal mengucapkan kata-kata bernada tinggi pada adiknya tadi. Seharusnya dia tidak sekasar itu. Tapi, itu semua dilakukannya karena tidak ingin Dil terluka. Kini dia bingung harus bertindak apa.
BIP-BIP-BIP
Tiba-tiba ponsel Livan berdering. Segera Livan mengambil ponselnya, dan melihat nama di layar. Melon.
“Halo, kau belum tidur?” tanya suara perempuan di telepon, Melon.
“Err… ya. Aku tidak bisa tidur,” jawab Livan sekenanya. “Ada apa menelepon malam-malam begini?”
“Tidak apa-apa Livan,” jawab Melon. “Aku hanya ingin mengingatkan bahwa besok ulang tahunku.”
“Ulang tahunmu? Oh iya, besok 13 Mein,” sahut Livan. “Tumben kau memberitahukannya padaku. Biasanya kan aku yang….”
“Iya, biasanya tanpa kuingatkan pun, kau sudah ingat,” tutur Melon. “Sebenarnya aku tidak mau mengingatkanmu, karena aku suka kalau kau yang mengucapkannya langsung. Tapi aku mengingatkanmu, karena besok bukan hanya aku yang berulang tahun.”
“Bukan hanya kau? Maksudmu…”
“Yup. Besok Dil juga ulang tahun. Sepertinya ulang tahun yang ke-13,” jawab Melon. “Nah, aku cuma ingin kau menyampaikan permintaan maafku, karena tahun ini aku tidak bisa datang ke Flown City. Ada yang harus kulakukan di Lake Town, ada acara kuliner. Jadi aku tidak bisa datang memasakkan makanan seperti tahun-tahun sebelumnya.”
“Dil ulang tahun? Oh iya, bagaimana aku bisa lupa ya…” kata Livan teringat.
“Ada apa Livan? Sepertinya terjadi sesuatu?
“Ah, tidak ada apa-apa. Kami baik-baik saja. Lebih baik lanjutkan kegiatan kulinermu. Nanti aku sampaikan pesanmu,” jawab Livan cepat.
“Tung… tunggu sebentar Livan,” sela Melon cepat. “Ada apa? Sepertinya ada masalah dengan adikmu. Kalau aku boleh sathu sih,” sambungnya.
Livan terdiam. Dia tak yakin ingin menceritakannya pada Melon. Tapi kemudian…
“Ya, ada masalah sedikit,” tutur Livan pelan. “Dil marah padaku, baru saja.”
“Eh, memangnya ada apa?” nada suara Melon terdengar ingin tahu.
“Dia ingin menjadi trainer dan aku memarahinya,” jawab Livan bergetar.
“Ah, kamu pasti menolaknya bukan?” terka Melon. “Hufft. Kamu ini… masih saja teringat masa lalu. Sudahlah, izinkan saja adikmu itu,” cecar Melon.
“Tapi aku khawa…”
“Dil mungkin masih bertingkah kekanak-kanakan. Tapi bukan berarti dia tidak bisa menjadi trainer bukan? Lagipula, Pokemon Trainer adalah program parlemen sebagai dasar dalam melindungi diri,” beber Melon menyela ucapan Livan.
Livan terdiam. Untuk beberapa hal, ucapan Melon benar. Tapi, rasa sayangnya pada Dil, dan tanggung jawabnya, membuat masih belum rela melepas Dil pergi berpetualang menjadi Pokemon Trainer. Lagipula, sebenarnya Dil adalah….
“Baiklah… terima kasih Melon. Akan kupikirkan. Dan akan kusampaikan salammu pada Dil,” terang Livan.
“Oh, baiklah kalau begitu. Selamat malam Livan. Semoga kau cepat berbaikan dengan Dil. Aku menunggu ucapanmu besok pagi,” pamit Melon.
“Sip. Kupastikan kau mendapatkannya,” sahut Livan. “Selamat malam Melon.”
TUT.
Livan mematikan panggilan, dan meletakkan ponselnya. Dia kembali berbaring di atas tempat tidur, dengan pandangan terarah ke langit-langit. Dia lantas melihat ke dinding, pada sebuah foto yang terbingkai disana. Foto dirinya bersama Dil. Besok Dil ulang tahun, dan dia justru baru saja menyakiti perasaan adiknya itu.
Permintaan Dil memang sangat mengganggu pikirannya. Menjadi Pokemon Trainer. Hal itu mengingatkannya pada kejadian tragis 13 tahun yang lalu, yang telah mengubah hidupnya selamanya. Bagaimanapun, Livan tidak ingin Dil terluka. Tapi sepertinya, dia tidak punya pilihan. Apalagi dengan kesedihan yang selama ini dirasakan Dil. Dia tidak ingin Dil terus bersedih.
*
BIP-BIP-BIP
Tiba-tiba ponsel Livan berdering. Segera Livan mengambil ponselnya, dan melihat nama di layar. Melon.
“Halo, kau belum tidur?” tanya suara perempuan di telepon, Melon.
“Err… ya. Aku tidak bisa tidur,” jawab Livan sekenanya. “Ada apa menelepon malam-malam begini?”
“Tidak apa-apa Livan,” jawab Melon. “Aku hanya ingin mengingatkan bahwa besok ulang tahunku.”
“Ulang tahunmu? Oh iya, besok 13 Mein,” sahut Livan. “Tumben kau memberitahukannya padaku. Biasanya kan aku yang….”
“Iya, biasanya tanpa kuingatkan pun, kau sudah ingat,” tutur Melon. “Sebenarnya aku tidak mau mengingatkanmu, karena aku suka kalau kau yang mengucapkannya langsung. Tapi aku mengingatkanmu, karena besok bukan hanya aku yang berulang tahun.”
“Bukan hanya kau? Maksudmu…”
“Yup. Besok Dil juga ulang tahun. Sepertinya ulang tahun yang ke-13,” jawab Melon. “Nah, aku cuma ingin kau menyampaikan permintaan maafku, karena tahun ini aku tidak bisa datang ke Flown City. Ada yang harus kulakukan di Lake Town, ada acara kuliner. Jadi aku tidak bisa datang memasakkan makanan seperti tahun-tahun sebelumnya.”
“Dil ulang tahun? Oh iya, bagaimana aku bisa lupa ya…” kata Livan teringat.
“Ada apa Livan? Sepertinya terjadi sesuatu?
“Ah, tidak ada apa-apa. Kami baik-baik saja. Lebih baik lanjutkan kegiatan kulinermu. Nanti aku sampaikan pesanmu,” jawab Livan cepat.
“Tung… tunggu sebentar Livan,” sela Melon cepat. “Ada apa? Sepertinya ada masalah dengan adikmu. Kalau aku boleh sathu sih,” sambungnya.
Livan terdiam. Dia tak yakin ingin menceritakannya pada Melon. Tapi kemudian…
“Ya, ada masalah sedikit,” tutur Livan pelan. “Dil marah padaku, baru saja.”
“Eh, memangnya ada apa?” nada suara Melon terdengar ingin tahu.
“Dia ingin menjadi trainer dan aku memarahinya,” jawab Livan bergetar.
“Ah, kamu pasti menolaknya bukan?” terka Melon. “Hufft. Kamu ini… masih saja teringat masa lalu. Sudahlah, izinkan saja adikmu itu,” cecar Melon.
“Tapi aku khawa…”
“Dil mungkin masih bertingkah kekanak-kanakan. Tapi bukan berarti dia tidak bisa menjadi trainer bukan? Lagipula, Pokemon Trainer adalah program parlemen sebagai dasar dalam melindungi diri,” beber Melon menyela ucapan Livan.
Livan terdiam. Untuk beberapa hal, ucapan Melon benar. Tapi, rasa sayangnya pada Dil, dan tanggung jawabnya, membuat masih belum rela melepas Dil pergi berpetualang menjadi Pokemon Trainer. Lagipula, sebenarnya Dil adalah….
“Baiklah… terima kasih Melon. Akan kupikirkan. Dan akan kusampaikan salammu pada Dil,” terang Livan.
“Oh, baiklah kalau begitu. Selamat malam Livan. Semoga kau cepat berbaikan dengan Dil. Aku menunggu ucapanmu besok pagi,” pamit Melon.
“Sip. Kupastikan kau mendapatkannya,” sahut Livan. “Selamat malam Melon.”
TUT.
Livan mematikan panggilan, dan meletakkan ponselnya. Dia kembali berbaring di atas tempat tidur, dengan pandangan terarah ke langit-langit. Dia lantas melihat ke dinding, pada sebuah foto yang terbingkai disana. Foto dirinya bersama Dil. Besok Dil ulang tahun, dan dia justru baru saja menyakiti perasaan adiknya itu.
Permintaan Dil memang sangat mengganggu pikirannya. Menjadi Pokemon Trainer. Hal itu mengingatkannya pada kejadian tragis 13 tahun yang lalu, yang telah mengubah hidupnya selamanya. Bagaimanapun, Livan tidak ingin Dil terluka. Tapi sepertinya, dia tidak punya pilihan. Apalagi dengan kesedihan yang selama ini dirasakan Dil. Dia tidak ingin Dil terus bersedih.
*
Keesokan harinya, Tanggal 13 Mein Tahun 213 Equaterian…
Livan terkejut mendapati meja makan telah penuh dengan berbagai hidangan. Batagor, siomay, bakso, semua makanan itu terhidang di atas meja. Karena penasaran, Livan lalu menuju ke kamar Dil untuk menanyakannya. Pintu kamar Dil terbuka lebar, tapi Dil tidak ada di dalamnya.
“Ayo Furasshu… Kejar aku!” terdengar suara keras Dil di halaman depan rumah.
Mendengar itu, Livan kemudian melangkah ke depan rumah, dan mendapati adiknya tengah bermain kejar-kejaran dengan Furasshu. Dil tampak ceria bermain dengan Shinx yang hanya memiliki cincin kuning di kaki kanannya itu. Shinx pemberiannya saat Dil berumur 10 tahun.
“Hai Kak Livan!” sapa Dil ketika melihat kakaknya keluar dari rumah. Dil tampak sangat ceria, membuat Livan heran. Padahal semalam Dil menangis saat Livan menolak keinginannya menjadi Pokemon Trainer.
“I… itu… Makanan di rumah, itu kamu yang membuat?” tanya Livan.
Dil mengangguk. Dia lantas berhenti bermain dengan Furasshu, dan berlari ke arah Livan. “Iya. Batagor, siomay, dan bakso, itu semua aku yang buat. Karena hari ini ulang tahunku, jadi aku ingin merayakannya!” jawab Dil antusias. “Kak Livan silakan makan. Itu spesial buat kita semua! Termasuk untuk Kak Melon. Aku sudah menyiapkan menu batagor khusus untuk dia!”
“Oh….” Livan terdiam. Dia lalu tersenyum melihat sikap adiknya. Syukurlah, adiknya sudah kembali ceria. Walaupun Livan melihat ada keceriaan yang dipaksakan dalam sikap Dil. “Sayangnya, Melon tidak akan datang,” katanya kemudian.
“Eh, kenapa Kak?” tanya Dil heran. “Biasanya dia datang ke rumah merayakan ulang tahunnya bersama kita di sini. Ulang tahunku kan sama dengan dia. Makanya, aku ingin sekali-kali memberikan kejutan, kalau kali ini aku yang memasak untuknya.”
“Bagus sekali niatmu Dil. Tapi Melon sedang ada acara kuliner di Lake Town,” jawab Livan. “Dia menitipkan salam padamu. Dia minta maaf karena tidak dapat hadir.”
“Oyo…” Dil tampak kecewa. Tapi wajahnya kembali ceria. “Tidak apa-apa Kak. Buat kita berdua saja. Kakak suka kan?”
Livan tak serta merta menjawab pertanyaan adiknya. Dia tampak berpikir, membuat Dil yang melihatnya menjadi heran. “Apa ada yang salah dengan makanan-makanan itu?” tanya Dil kemudian.
Livan menggeleng. “Tidak. Tidak ada yang salah. Malahan bagus sekali,” jawab Livan. “Kakak cuma heran, kenapa kamu bisa begitu ceria, padahal kemarin kamu menangis.”
Dil tersenyum. Dia lalu memandang wajah kakaknya dengan sangat manis. “Kakak,” katanya. “Hari ini ulang tahunku. Jadi aku harus berbahagia. Aku tidak boleh bersedih, apalagi menangis,” lanjut Dit. “Lagipula, aku sadar diri kok kalau kita ini bukan keluarga petarung seperti keluarga Zone. Jadi ya tidak apa-apa tidak menjadi Pokemon Trainer. Kalau dipikir-pikir, untuk apa jadi Pokemon Trainer? Aku lebih suka di kota ini, melihat Apricorn tumbuh subur, dan bermain-main dengan Furasshu.”
“Eh?” Livan tertegun mendengar jawaban panjang Dil. Dia tidak menyangka adiknya bisa sebijak itu, padahal umurnya masih sangat muda. Walaupun dia tidak tahu apakah yang dikatakan Dil memang benar apa yang dirasakannya.
“Well… Well… Baguslah kalau begitu,” kata Livan. “Padahal tadi, Kakak ingin memberimu hadiah ulang tahun. Tapi berhubung kamu tidak mau jadi Pokemon Trainer, jadi hadiahnya…”
“Hadiah apa Kak?” Dil langsung antusias dan mendekati kakaknya. “Apa Kak? Apa Kak? Apa hadiah tahun ini?” cecarnya ingin tahu.
“Kasih tahu gak ya….” Sahut Livan dengan nada menggoda.
“Oh ayolah Kak… aku ingin tahu!” rengek Dil.
Livan tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah benda persegi panjang kecil, tebal, berwarna merah dari sakunya. “Ini hadiah ulang tahunmu. PokeDex Equater, berisi 300 data Pokemon yang bisa kamu temui di Equater,” kata Livan seraya mengulurkan benda itu ke arah Dil.
Dil terkejut melihat PokeDex yang diulurkan kakaknya. Diterimanya benda itu dan diamatinya baik-baik. Benda itu sama seperti yang ditunjukkan Rai kemarin. “Oyo… Benda ini…. Maksudnya apa Kak? Kok sama seperti milik Rai?” tanya Dil.
“Itu PokeDex, ensiklopedi Pokemon bergambar, yang menjadi alat wajib bagi Pokemon Trainer,” jawab Livan.
“Oyo? Maksudnya…. Kak Livan mengizinkanku menjadi… Pokemon Trainer?” tanya Dil tak percaya. Livan mengangguk. Melihat anggukan itu, Dil langsung berseru, “Benarkah Kak?”
“Apalagi? Tentu saja benar. Dulu, saat kakak seusiamu, kakak juga menjadi Pokemon Trainer. Bahkan kakak sudah menjadi Ace Trainer,” jawab Livan.
“Eh, yang benar Kak?” Dil terperangah. “Tapi, kenapa kemarin Kakak…”
Kakak mengizinkanmu menjadi Pokemon Trainer,” potong Livan. “Jadi kamu bisa menyusul dan bertemu Rai, sahabatmu.”
Dil terdiam sejenak, kemudian…
“I… Ini…. AMAZING!” sorak Dil gembira. “Kamu dengar itu Furasshu? Aku jadi Pokemon Trainer!” katanya melihat ke arah Furasshu. Shinx miliknya yang berkalungkan sebongkah batu kecil itu melompat-lompat, seakan menunjukkan perasaan senangnya.
“Tapi Kak…” tiba-tiba Dil berhenti melompat dan langsung menoleh kea rah Livan. “Kita kan bukan keluarga petarung. Kita hanya keluarga petani biasa. Apa kita bisa jadi Pokemon Trainer?”
“Tentu bisa, semua orang bisa menjadi Pokemon Trainer,” jawab Livan. “Perkataanku kemarin itu, karena aku takut terjadi apa-apa padamu. Sebenarnya tidak ada masalah keluarga apa dia, selama dia berkeinginan menjadi Pokemon Trainer, tidak masalah.”
“Oyo…. Jadi kemarin itu…”
“Tapi masalahnya sekarang, harus ada yang mendampingi kamu. Karena Kakak tidak mungkin mendampingimu. Ada pekerjaan yang harus Kakak kerjakan,” sambung Livan.
“Yah….” Dil terdengar kecewa. “Jadi…?”
“Well… bagaimanapun kamu bukan lagi anak kecil. Kakak tidak punya pilihan selain percaya padamu. Lagipula dalam perjalanan nanti kami akan ditemani Furasshu. Jadi…”
“Aku akan ikut,” tiba-tiba terdengar suara laki-laki. Serta merta Dil dan Livan melihat ke arah asal suara. Tampak Neo berdiri di pintu pagar rumah, dengan Pidgeotto bertengger di bahunya.
“Neo?” ujar Dil dan Livan bersamaan.
“Iya, Neo Xys,” sahut Neo.. Dia melihat ke arah Livan dan berkata, “Kak Livan, izinkan aku ikut bersama Dil, menemaninya menjadi Pokemon Trainer.
“Oyo?” Dil terkejut mendengar ucapan Neo.
“Benarkah kamu mau menemani Dil?” tanya Livan tak percaya.
Neo mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Aku ingin mencari kakakku, Joyeuse Xys, yang hingga kini tak juga kembali dari perjalanannya sebagai seorang Pokemon Trainer. Kupikir dengan ikut bersama Dil, aku bisa mengetahui keberadaan kakakku.”
“Hmm…. Joyeuse Xys…. Ya, dia belum juga kembali sejak tiga tahun yang lalu.” Livan tampak berpikir. “Baiklah kalau begitu. Aku izinkan kamu menemani Dil. Kamu teman akrab Dil, aku yakin kami bisa menjaga dan membantu Dil. Kumohon kamu menjaganya dengan baik,” sambungnya.
“Siap Kak Livan!” sahut Neo lantang.
“Asyik! Aku bisa berpetualang bersama Kak Neo!” seru Dil gembira. “Kak Neo, akhirnya kita bisa mencari Ho-Oh bersama!” Dil memandang ke arah Neo dengan penuh suka cita.
“Ho-Oh?” tanya Neo tak mengerti. “Maksudmu Pokemon pelangi, yang menjadi maskot Equater itu?”
Dil mengangguk. “Iya. Katanya, bila berhasil melihat Ho-Oh, kita akan mendapatkan kebahagiaan seumur hidup. Itulah yang kuinginkan Kak,” jawab Dil.
“Hmm… jadi selain ingin menyusul Rai, kamu juga ingin mencari Ho-Oh?” Tanya Livan. Dil mengangguk mantap. Livan tersenyum. Dia langsung teringat Pokemon legenda yang menjadi maskot Equater. Pokemon yang selalu didongengkannya pada Dil ketika adiknya itu masih kecil. “Baiklah, tunggu apalagi. Segeralah berkemas, petualangan menanti kalian,” kata Livan kemudian.
“Siap!” seru Dil dan Neo bersamaan. Dil kemudian masuk ke dalam rumah sementara Neo berlari ke rumahnya. Livan tersenyum melihat semangat Dil. Dia tak menyangka adiknya kini sudah beranjak remaja. Seolah baru kemarin dia menggendong Dil, bermain-main bersamanya. Kenyataannya kini, adik perempuannya itu telah siap dengan sebuah petualangan baru, menjadi Pokemon Trainer, menjelajah Equater.
“Dil, sudah cukup kesedihanmu selama ini. Aku tidak ingin melihatmu bersedih lagi. Pergilah berpetualang, dan temukan kebahagiaanmu…” ujar Livan lirih.
Sementara di dalam kamarnya, Dil terlihat begitu ceria. Dengan riang gembira dikemasinya barang-barang yang akan dibawanya bertualang. Dia sudah tidak sabar menyusul sahabatnya, Rai Zone. Dia pun sudah tidak sabar menemukan Ho-Oh, Pokemon pelangi yang selalu ingin ditemuinya. Petualangan apakah yang menanti Dil?
Livan terkejut mendapati meja makan telah penuh dengan berbagai hidangan. Batagor, siomay, bakso, semua makanan itu terhidang di atas meja. Karena penasaran, Livan lalu menuju ke kamar Dil untuk menanyakannya. Pintu kamar Dil terbuka lebar, tapi Dil tidak ada di dalamnya.
“Ayo Furasshu… Kejar aku!” terdengar suara keras Dil di halaman depan rumah.
Mendengar itu, Livan kemudian melangkah ke depan rumah, dan mendapati adiknya tengah bermain kejar-kejaran dengan Furasshu. Dil tampak ceria bermain dengan Shinx yang hanya memiliki cincin kuning di kaki kanannya itu. Shinx pemberiannya saat Dil berumur 10 tahun.
“Hai Kak Livan!” sapa Dil ketika melihat kakaknya keluar dari rumah. Dil tampak sangat ceria, membuat Livan heran. Padahal semalam Dil menangis saat Livan menolak keinginannya menjadi Pokemon Trainer.
“I… itu… Makanan di rumah, itu kamu yang membuat?” tanya Livan.
Dil mengangguk. Dia lantas berhenti bermain dengan Furasshu, dan berlari ke arah Livan. “Iya. Batagor, siomay, dan bakso, itu semua aku yang buat. Karena hari ini ulang tahunku, jadi aku ingin merayakannya!” jawab Dil antusias. “Kak Livan silakan makan. Itu spesial buat kita semua! Termasuk untuk Kak Melon. Aku sudah menyiapkan menu batagor khusus untuk dia!”
“Oh….” Livan terdiam. Dia lalu tersenyum melihat sikap adiknya. Syukurlah, adiknya sudah kembali ceria. Walaupun Livan melihat ada keceriaan yang dipaksakan dalam sikap Dil. “Sayangnya, Melon tidak akan datang,” katanya kemudian.
“Eh, kenapa Kak?” tanya Dil heran. “Biasanya dia datang ke rumah merayakan ulang tahunnya bersama kita di sini. Ulang tahunku kan sama dengan dia. Makanya, aku ingin sekali-kali memberikan kejutan, kalau kali ini aku yang memasak untuknya.”
“Bagus sekali niatmu Dil. Tapi Melon sedang ada acara kuliner di Lake Town,” jawab Livan. “Dia menitipkan salam padamu. Dia minta maaf karena tidak dapat hadir.”
“Oyo…” Dil tampak kecewa. Tapi wajahnya kembali ceria. “Tidak apa-apa Kak. Buat kita berdua saja. Kakak suka kan?”
Livan tak serta merta menjawab pertanyaan adiknya. Dia tampak berpikir, membuat Dil yang melihatnya menjadi heran. “Apa ada yang salah dengan makanan-makanan itu?” tanya Dil kemudian.
Livan menggeleng. “Tidak. Tidak ada yang salah. Malahan bagus sekali,” jawab Livan. “Kakak cuma heran, kenapa kamu bisa begitu ceria, padahal kemarin kamu menangis.”
Dil tersenyum. Dia lalu memandang wajah kakaknya dengan sangat manis. “Kakak,” katanya. “Hari ini ulang tahunku. Jadi aku harus berbahagia. Aku tidak boleh bersedih, apalagi menangis,” lanjut Dit. “Lagipula, aku sadar diri kok kalau kita ini bukan keluarga petarung seperti keluarga Zone. Jadi ya tidak apa-apa tidak menjadi Pokemon Trainer. Kalau dipikir-pikir, untuk apa jadi Pokemon Trainer? Aku lebih suka di kota ini, melihat Apricorn tumbuh subur, dan bermain-main dengan Furasshu.”
“Eh?” Livan tertegun mendengar jawaban panjang Dil. Dia tidak menyangka adiknya bisa sebijak itu, padahal umurnya masih sangat muda. Walaupun dia tidak tahu apakah yang dikatakan Dil memang benar apa yang dirasakannya.
“Well… Well… Baguslah kalau begitu,” kata Livan. “Padahal tadi, Kakak ingin memberimu hadiah ulang tahun. Tapi berhubung kamu tidak mau jadi Pokemon Trainer, jadi hadiahnya…”
“Hadiah apa Kak?” Dil langsung antusias dan mendekati kakaknya. “Apa Kak? Apa Kak? Apa hadiah tahun ini?” cecarnya ingin tahu.
“Kasih tahu gak ya….” Sahut Livan dengan nada menggoda.
“Oh ayolah Kak… aku ingin tahu!” rengek Dil.
Livan tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah benda persegi panjang kecil, tebal, berwarna merah dari sakunya. “Ini hadiah ulang tahunmu. PokeDex Equater, berisi 300 data Pokemon yang bisa kamu temui di Equater,” kata Livan seraya mengulurkan benda itu ke arah Dil.
Dil terkejut melihat PokeDex yang diulurkan kakaknya. Diterimanya benda itu dan diamatinya baik-baik. Benda itu sama seperti yang ditunjukkan Rai kemarin. “Oyo… Benda ini…. Maksudnya apa Kak? Kok sama seperti milik Rai?” tanya Dil.
“Itu PokeDex, ensiklopedi Pokemon bergambar, yang menjadi alat wajib bagi Pokemon Trainer,” jawab Livan.
“Oyo? Maksudnya…. Kak Livan mengizinkanku menjadi… Pokemon Trainer?” tanya Dil tak percaya. Livan mengangguk. Melihat anggukan itu, Dil langsung berseru, “Benarkah Kak?”
“Apalagi? Tentu saja benar. Dulu, saat kakak seusiamu, kakak juga menjadi Pokemon Trainer. Bahkan kakak sudah menjadi Ace Trainer,” jawab Livan.
“Eh, yang benar Kak?” Dil terperangah. “Tapi, kenapa kemarin Kakak…”
Kakak mengizinkanmu menjadi Pokemon Trainer,” potong Livan. “Jadi kamu bisa menyusul dan bertemu Rai, sahabatmu.”
Dil terdiam sejenak, kemudian…
“I… Ini…. AMAZING!” sorak Dil gembira. “Kamu dengar itu Furasshu? Aku jadi Pokemon Trainer!” katanya melihat ke arah Furasshu. Shinx miliknya yang berkalungkan sebongkah batu kecil itu melompat-lompat, seakan menunjukkan perasaan senangnya.
“Tapi Kak…” tiba-tiba Dil berhenti melompat dan langsung menoleh kea rah Livan. “Kita kan bukan keluarga petarung. Kita hanya keluarga petani biasa. Apa kita bisa jadi Pokemon Trainer?”
“Tentu bisa, semua orang bisa menjadi Pokemon Trainer,” jawab Livan. “Perkataanku kemarin itu, karena aku takut terjadi apa-apa padamu. Sebenarnya tidak ada masalah keluarga apa dia, selama dia berkeinginan menjadi Pokemon Trainer, tidak masalah.”
“Oyo…. Jadi kemarin itu…”
“Tapi masalahnya sekarang, harus ada yang mendampingi kamu. Karena Kakak tidak mungkin mendampingimu. Ada pekerjaan yang harus Kakak kerjakan,” sambung Livan.
“Yah….” Dil terdengar kecewa. “Jadi…?”
“Well… bagaimanapun kamu bukan lagi anak kecil. Kakak tidak punya pilihan selain percaya padamu. Lagipula dalam perjalanan nanti kami akan ditemani Furasshu. Jadi…”
“Aku akan ikut,” tiba-tiba terdengar suara laki-laki. Serta merta Dil dan Livan melihat ke arah asal suara. Tampak Neo berdiri di pintu pagar rumah, dengan Pidgeotto bertengger di bahunya.
“Neo?” ujar Dil dan Livan bersamaan.
“Iya, Neo Xys,” sahut Neo.. Dia melihat ke arah Livan dan berkata, “Kak Livan, izinkan aku ikut bersama Dil, menemaninya menjadi Pokemon Trainer.
“Oyo?” Dil terkejut mendengar ucapan Neo.
“Benarkah kamu mau menemani Dil?” tanya Livan tak percaya.
Neo mengangguk. “Iya,” jawabnya. “Aku ingin mencari kakakku, Joyeuse Xys, yang hingga kini tak juga kembali dari perjalanannya sebagai seorang Pokemon Trainer. Kupikir dengan ikut bersama Dil, aku bisa mengetahui keberadaan kakakku.”
“Hmm…. Joyeuse Xys…. Ya, dia belum juga kembali sejak tiga tahun yang lalu.” Livan tampak berpikir. “Baiklah kalau begitu. Aku izinkan kamu menemani Dil. Kamu teman akrab Dil, aku yakin kami bisa menjaga dan membantu Dil. Kumohon kamu menjaganya dengan baik,” sambungnya.
“Siap Kak Livan!” sahut Neo lantang.
“Asyik! Aku bisa berpetualang bersama Kak Neo!” seru Dil gembira. “Kak Neo, akhirnya kita bisa mencari Ho-Oh bersama!” Dil memandang ke arah Neo dengan penuh suka cita.
“Ho-Oh?” tanya Neo tak mengerti. “Maksudmu Pokemon pelangi, yang menjadi maskot Equater itu?”
Dil mengangguk. “Iya. Katanya, bila berhasil melihat Ho-Oh, kita akan mendapatkan kebahagiaan seumur hidup. Itulah yang kuinginkan Kak,” jawab Dil.
“Hmm… jadi selain ingin menyusul Rai, kamu juga ingin mencari Ho-Oh?” Tanya Livan. Dil mengangguk mantap. Livan tersenyum. Dia langsung teringat Pokemon legenda yang menjadi maskot Equater. Pokemon yang selalu didongengkannya pada Dil ketika adiknya itu masih kecil. “Baiklah, tunggu apalagi. Segeralah berkemas, petualangan menanti kalian,” kata Livan kemudian.
“Siap!” seru Dil dan Neo bersamaan. Dil kemudian masuk ke dalam rumah sementara Neo berlari ke rumahnya. Livan tersenyum melihat semangat Dil. Dia tak menyangka adiknya kini sudah beranjak remaja. Seolah baru kemarin dia menggendong Dil, bermain-main bersamanya. Kenyataannya kini, adik perempuannya itu telah siap dengan sebuah petualangan baru, menjadi Pokemon Trainer, menjelajah Equater.
“Dil, sudah cukup kesedihanmu selama ini. Aku tidak ingin melihatmu bersedih lagi. Pergilah berpetualang, dan temukan kebahagiaanmu…” ujar Livan lirih.
Sementara di dalam kamarnya, Dil terlihat begitu ceria. Dengan riang gembira dikemasinya barang-barang yang akan dibawanya bertualang. Dia sudah tidak sabar menyusul sahabatnya, Rai Zone. Dia pun sudah tidak sabar menemukan Ho-Oh, Pokemon pelangi yang selalu ingin ditemuinya. Petualangan apakah yang menanti Dil?
Bersambung...
Story by: L Maulana
Art by: Rikhana Ardilla
Pokemon by: GameFreak & Nintendo
Art by: Rikhana Ardilla
Pokemon by: GameFreak & Nintendo